SP PLN Lawan Union Busting via Praperadilan
Berita

SP PLN Lawan Union Busting via Praperadilan

Persidangan sudah memasuki tahap pembuktian.

Oleh:
Rfq
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP

Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP PLN) terus berjuang melawan beberapa kebijakan manajemen PT PLN kepemimpinan Dahlan Iskan yang dinilai merugikan mereka. Perjuangan SP PLN kali ini ditempuh melalui upaya praperadilan. Yang “dilawan” kali ini memang bukan PT PLN langsung, melainkan Kepolisian RI (Polri). SP PLN mempersoalkan keputusan Polri, dalam hal ini Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, menghentikan penyidikan kasus pidana yang dilaporkan SP PLN pada 26 Juli 2010.

 

Dipaparkan dalam permohonan praperadilan, SP PLN menuturkan bahwa sedari awal mereka memang tidak ‘sreg’ dengan penunjukan Dahlan sebagai Direktur Utama PT PLN. Padahal, sebelum Dahlan masuk, SP PLN mengaku memiliki hubungan yang baik dengan manajemen PLN.

 

SP PLN memiliki tiga alasan penolakan penunjukan Dahlan. Pertama, pendiri grup media Jawa Pos dinilai tidak memiliki kompetensi di bidang ketenagalistrikan. Kedua, Dahlan dituding memiliki konflik kepentingan terkait posisinya sebagai pengusaha Independence Power Producer PLTU Embalut, Kalimantan Timur yang menjual produknya ke PLN. Ketiga, Dahlan dikhawatirkan akan melakukan privatisasi terhadap PLN.

 

Puncak ketidaksukaan SP PLN memuncak ketika manajemen Dahlan justru mengakui SP PLN kubu lain dengan Ketua Umum Riyo Supriyanto. Padahal, ketika itu, Ketua Umum SP PLN berdasarkan Musyawarah Besar tanggal 29-30 Mei 2007. Berikutnya, manajemen juga memecat Sumadi, yang ketika itu menjabat Sekjen SP PLN, serta memutasi dua pengurus daerah. Manajemen perusahaan bahkan telah berencana melakukan pengosongan ruangan SP PLN di kantor pusat PLN di Jakarta.

 

Kebijakan-kebijakan manajemen di bawah kepemimpinan Dahlan ini lalu dilaporkan ke Mabes Polri dengan para terlapor Dahlan Iskan, Eddy D Erningpraja, Edi Sukmoro, dan Roikhan. Salah materi laporan SP PLN adalah para terlapor dituding melakukan union busting (pemberangusan SP). Dalam perkembangannya, laporan SP PLN dialihkan penanganannya kepada Ditreskrim Polda Metro Jaya.

 

Setelah berjalan enam bulan, kasus yang dilaporkan SP PLN dihentikan yang ditandai dengan terbitnya empat surat ketetapan penghentian penyidikan. Alasan penghentian adalah kasus yang dilaporkan SP PLN disimpulkan bukan kasus pidana. Surat inilah yang kemudian dipersoalkan SP PLN melalui praperadilan yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. SP PLN yang didampingi para pengacara dari LBH Jakarta menyatakan penghentian penyidikan itu tidak sah.

 

Dalam permohonannya, SP PLN menegaskan bahwa kasus yang mereka laporkan jelas kasus pidana sebagaimana diatur dalam UU No 21 Tahun 2000. SP PLN menunjuk Pasal 43 ayat (1), “Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dikenakan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp500 juta”. Kemudian ditegaskan juga pada ayat (2), “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan”.

 

Selanjutnya, SP PLN berdalil surat penghentian penyidikan bertentangan dengan yurisprudensi yakni Putusan MA tanggal 18 Agustus 1983 nomor 645/K/Sip/1982. Yurisprudensi itu menyatakan “penghentian penyidikan dengan alasan bukan merupakan tindak pidana, jika terkait dengan kompetensi absolut, atau jika ternyata apa yang disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran pidana yang termasuk kompetensi peradilan umum, tidak merupakan pelanggaran atau kejahatan yang termasuk ruang lingkup peradilan umum”.

 

Merujuk pada yurisprudensi itu, SP PLN menilai alasan penghentian penyidikan bahwa kasus yang dilaporkan bukan tindak pidana adalah alasan yang mengada-ada. Apalagi, lazimnya penanganan kasus yang sudah sampai pada tahap penyidikan, penyidik telah menetapkan tersangka.

 

Terakhir, SP PLN menilai penyidikan kasus yang mereka laporkan belum berjalan maksimal karena penyidik belum meminta keterangan ahli. Menurut SP PLN, keterangan ahli sangat diperlukan karena kasus yang mereka laporkan ini adalah tindak pidana khusus. Keterangan ahli diharapkan dapat membuat terang dugaan tindak pidana yang dilakukan Dahlan dkk.

 

Dalil-dalil SP PLN telah dijawab oleh termohon. Melalui tim kuasa hukum dari Bidkum Polda Metro Jaya, termohon intinya menegaskan bahwa penghentian penyidikan adalah sah menurut hukum. Pasalnya, penghentian penyidikan itu dilakukan setelah rangkaian proses penyidikan telah dilakukan, termasuk gelar perkara di hadapan pejabat Polda Metro Jaya. Kesimpulannya, penyidikan harus dihentikan karena kasus yang dilaporkan SP PLN bukan kasus pidana.

 

Soal saksi ahli, termohon berdalih meminta keterangan ahli bukan suatu hal yang mutlak dan mengikat. Dalam kasus ini, termohon berkeyakinan keterangan ahli tidak diperlukan karena perkaranya dinilai cukup terang.

 

Persidangan yang dipimpin hakim tunggal Ida Bagus Dwiyantara telah memasuki tahap pembuktian. Rencananya, Jumat ini (16/9), SP PLN akan menghadirkan ahli perburuhan dan ahli pidana serta beberapa saksi ke persidangan. Jika sesuai batas waktu KUHAP, permohonan praperadilan ini akan diputus Selasa depan (20/9).

Tags: