Banyak Mafia, Haruskah Banggar Bubar?
Fokus

Banyak Mafia, Haruskah Banggar Bubar?

ICW menilai aksi mogok membahas anggaran sebagai bentuk reaksi untuk menutupi adanya mafia anggaran di Badan Anggaran DPR.

Oleh:
M Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Setelah Muhammad Nazaruddin ‘berkicau’sejumlah nama anggota DPR terlibat dalam kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang. Foto: SGP
Setelah Muhammad Nazaruddin ‘berkicau’sejumlah nama anggota DPR terlibat dalam kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang. Foto: SGP

Istilah mafia anggaran kembali populer saat ini. Para anggota DPR, terutama mereka yang duduk di Badan Aggaran (Banggar) seakan kehilangan kredibilitas di mata rakyat setelah terungkapnya beberapa kasus korupsi di sejumlah kementerian. Belakangan, dua kementerian menjadi sorotan, yaitu Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans).

    

Kemenpora disorot lantaran terkuaknya kasus korupsi dalam pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Jakabaring, Palembang. Sejumlah elit dari partai besar disebut-sebut sebagai dalang dari kasus ini. Kemudian, kasus di Kemenakertrans. Kasus suap di kementerian ini terkait program Percepatan Pembangunan Infrstruktur Daerah Transmigrasi (PPIDT).

 

Terlepas dari penanganan dua kasus di atas, peran Banggar DPR diyakini menjadi biang keladi terjadinya praktik korupsi. Alat kelengkapan DPR yang satu ini seakan menjadi lumbung bagi anggota dewan dan partai politik untuk mencari dana. Ratusan, bahkan ribuan triliun rupiah uang negara yang akan dipakai untuk pembangunan harus melewati proses pembahasan di badan ini. Dalam proses pembahasan anggaran itulah menganga lebar peluang terjadinya korupsi dan kolusi.

 

Adalah Wa Ode Nurhayati yang membongkar buruknya kinerja Banggar. Dalam sebuah wawancara di stasiun televisi swasta, akhir Mei 2011. Anggota Komisi VII ini mengungkap kebobrokan beberapa anggota Banggar dalam proses pembahasan anggaran. Bahkan, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menuding Pimpinan DPR sebagai penjahat anggaran dengan menyurati Menteri Keuangan untuk menyetujui pos anggaran daerah.

 

“Surat wakil ketua DPR kepada menteri keuangan itu berisi mengenai dana stimulus bagi daerah. Namun, daerah yang diusulkan ternyata bukanlah daerah yang membutuhkan dana stimulus,” katanya.

 

Pernyataan Wa Ode tentu membuat telinga Ketua DPR Marzuki Alie panas. Dia mencap Wa Ode tidak memiliki etika dengan menyebut Pimpinan DPR sebagai penjahat anggaran. Buntutnya, wakil rakyat asal Sulawesi Tenggara itu dilaporkan Marzuki ke Badan Kehormatan (BK) DPR. Namun, Wa Ode mengaku tak gentar menghadapi sikap pimpinannya. Perseteruan keduanya pun tak terelakkan.

 

Reputasi Banggar semakin hancur setelah Muhammad Nazaruddin ‘berkicau’ saat pelariannya di Kolombia. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini menuding sejumlah nama anggota DPR terlibat dalam kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang. Mereka yang disebut oleh Nazaruddin pada umumnya adalah para anggota dewan yang duduk di Banggar seperti Angelina Sondakh, Wayan Koster, dan Mirwan Amir.   

 

“Angelina dan Wayan Koster bermain anggaran di Kemenpora. Lalu, uang itu diserahkan ke Mirwan Amir, kemudian dibagi-bagi ke pimpinan banggar,” ungkapnya.

 

Kasus Kemenakertrans menambah buruk citra Banggar. Adanya perubahan angka di APBNP 2011 untuk program PPIDT di 19 kabupaten menjadi pertanyaan. Jika sebelumnya Kemenakertrans mendapat anggaran sebesar Rp270 miliar, tiba-tiba menggelembung menjadi Rp500 miliar. Lucunya, Menakertrans Muhaimin Iskandar dan Komisi IX mengaku tidak tahu menahu soal perubahan ini.

 

“Dalam pengetahuan kita, dana penyesuaian infrastruktur itu sepenuhnya ada di Kementerian Keuangan, dan besarannya diputuskan bersama Badan Anggaran DPR yang di dalamnya mencakup semua komisi di DPR,” ujar Muhaimin.

 

Praktik mafia anggaran sebenarnya sudah lama terjadi. Ironisnya, hal ini seperti menjadi sesuatu yang biasa bagi birokrasi pemerintahan, dan terus membiarkan. Anggota DPD John Pieris mengatakan, bagi sejumlah Pemda, para mafia anggaran bisa diandalkan untuk memperlancar proses pengucuran dana dari pemerintah pusat ke daerah. Sehingga tak butuh waktu lama bagi daerah untuk bisa menikmati anggaran yang diberikan oleh Kementerian Keuangan.

 

“Praktik mafia anggaran juga dimanfaatkan partai untuk mencari dana sebagai penggerak mesin politik,” katanya.

 

Posisi Banggar jelas terpojok. Tak sedikit elemen di masyarakat menuntut agar alat lengkapan DPR yang satu ini dibubarkan. Alasannya, ya itu tadi, banyaknya praktik korupsi dan kolusi dalam penyusunan dan pembahasan anggaran yang menyebabkan keuangan negara menjadi tekor.

 

Puncaknya, KPK memeriksa empat pimpinan Banggar pada Selasa (20/9). Mereka adalah Mirwan Amir (Fraksi Partai Demokrat), Tamsil Linrung (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), Oli Dondokambey (Fraksi PDI-Perjuangan), dan Melchias Markus Mekeng (Fraksi Partai Golkar). Keempatnya dimintai keterangan terkait standard operating procedure (SOP) penentuan anggaran di DPR. Selain itu, KPK meminta keterangan terkait kasus M Nazaruddin dan Kemenakertrans.

 

Usai memintai keterangan, Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, kunci penyelesaian berbagai permasalahan di Banggar adalah transparansi. Menurutnya, masalah permainan anggaran biasanya muncul karena tidak ada keterbukaan baik dalam proses pembahasan maupun pengesahan. “Proses penyusunan anggaran juga perlu dilakukan secara transparan,” ujarnya.

 

Kendati demikian, Banggar masih mendapat pembelaan. Menurut Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis, bila ada seseorang yang merasa diuntungkan dengan keputusan yang sudah diambil di Banggar, hal itu bukan lagi masuk dalam ranah Banggar, tapi oknum-oknum yang ada di Banggar. Begitu pula jika ada pembicaraan dengan kementerian yang hendak membahas program atau proyek dengan pimpinan Banggar.

 

Politisi Partai Golkar ini mengatakan, semua pengambilan keputusan di Banggar dilakukan dalam proses rapat dengan anggota. Jika ada yang tidak setuju, pengambilan keputusan dilakukan melalui voting. Dia juga mengingatkan, rapat pimpinan hanya menyusun agenda dan membuat kesimpulan rapat yang kemudian dilaporkan kembali di dalam rapat.

 

Menggertak

Sehari setelah empat pimpinannya dipanggil KPK, Banggar DPR menggelar rapat internal. Hasilnya, semua anggota sepakat untuk menghentikan sementara semua pembahasan anggaran dengan pemerintah, termasuk pembahasan Rancangan APBN 2012 yang harus disahkan pada 25 Oktober mendatang. Banggar malah menyerahkan proses pembahasan anggaran kepada Pimpinan DPR.

 

Anggota Banggar dari Komisi XI Andi Rahmat mengakui, semua anggota Banggar kurang setuju atas pemanggilan pimpinan mereka oleh KPK. Menurutnya, pemanggilan tersebut tidak memiliki dasar dan landasan yang kuat, tetapi lebih sebagai upaya pengalihan kasus kode etik pimpinan KPK itu sendiri dalam kasus M Nazaruddin.

 

Politisi PKS ini tak mempersoalkan jika ada pendapat yang mengatakan penghentian pembahasan anggaran merupakan sikap tidak wise (bijaksana) yang ditunjukkan oleh Banggar. “Tidak masalah. Ini bukan soal wise atau tidak. Ini satu cara supaya sorotan negatif terhadap banggar segera selesai," ujarnya.

 

Namun, pernyataan Andi justru tak mendapat simpati dari rekannya, Harry Azhar Azis. Dia menyesalkan sikap banggar yang menghentikan pembahasan Rancangan APBN 2012 dengan mengembalikan pembahasannya kepada Pimpinan DPR. Menurutnya, hal itu bertentangan dengan undang-undang.

 

Harry menjelaskan, pengembalian pembahasan kepada pimpinan DPR bisa diterima jika terjadi jalan buntu dalam pembahasan APBN antara Banggar dengan wakil pemerintah. Namun, ia menegaskan untuk kasus KPK ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menghentikan pembahasan anggaran.

 

“Kewenangan pembahasan tetap ada pada Banggar, tidak bisa dipindahkan kepada lembaga lain,” tutur Harry.

 

Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) justru menganggap aksi mogok yang dilakukan Banggar sebagai gertakan semata. “Aksi ngambek banggar ini sebagai bentuk reaksi untuk menutupi atau menghilangkan adanya mafia anggaran di Banggar,” kata Peneliti Divisi Politik ICW, Apung Widadi.

 

 

Tags: