Gayus Lumbuun:
Tugas Hakim Bukan Hanya Memutus Perkara
Profil

Gayus Lumbuun:
Tugas Hakim Bukan Hanya Memutus Perkara

Tapi juga membangun hukum yang hidup di masyarakat.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Hakim Gayus Lumbuun dari politisi menjadi hakim agung. Foto: Sgp
Hakim Gayus Lumbuun dari politisi menjadi hakim agung. Foto: Sgp

Rapat Paripurna DPR, Selasa (4/10) akhirnya menetapkan enam hakim agung teranyar yang telah dipilih oleh Komisi III DPR. Mereka adalah Suhadi, Gayus Lumbuun, Dudu Duswara, Andi Samsan Nganro, Nurul Elmiyah, dan Hary Djatmiko. Salah satu yang mendapat sorotan publik adalah Gayus Lumbuun karena latar belakangnya sebagai politisi PDIP.

 

Independensi dan imparsialitas Gayus sempat dipertanyakan. Namun, dalam fit and proper test, Gayus telah berjanji untuk menanggalkan posisinya sebagai politisi dan akan menegakkan asas persamaan di hadapan hukum kepada setiap orang. Selain itu, pria yang terkenal memiliki temperamen tinggi ini juga berjanji akan mengontrol emosinya ketika bertugas di MA. 

 

Usai namanya sebagai hakim agung teranyar diperkenalkan di rapat paripurna, tak sedikit rekan-rekannya yang berfoto bersama dengan Gayus. Maklum, itu tentu hari terakhir Gayus tampil di ruang sidang paripurna yang sudah diakrabinya sejak 2003 lalu. Lantas, apa yang akan Gayus lakukan di MA? Bagaimana ia memandang tugas seorang hakim agung? Apakah ia sudah mantap memilih profesi baru ini? Berikut petikan wawancara dengan Profesor Hukum dari Universitas Krisnadwipayana ini.

 

Apakah Anda sudah mantap meninggalkan panggung politik?

Saya harus melepaskan dunia politik karena hakim dilarang untuk berada pada posisi yang berkontak kepentingan. Saya harus bisa imparsial. Saya harus memandang setiap orang sama di mata hukum. Saya harus independen.

 

Apakah itu termasuk meninggalkan sifat politisi yang sering berbicara ke publik? Bagaimana Anda memandang bahwa hakim itu adalah korps yang diam?

Saya pikir memang harus seperti itu, hakim itu punya buku hakim yang disebut sebagai benchbook (buku yang menjadi rujukan para hakim,-red). Itu melekat kepada setiap hakim di semua negara. Hakim-hakim kita juga mengantongi buku itu. Salah satunya, hakim tak boleh banyak berpendapat karena memang pendapat hakim ada pada putusannya.

 

Tetapi saya katakan kita tak bisa biarkan lembaga hukum seperti MA ini menjadi beku. Yang tak boleh adalah yang berkaitan dengan kasus dan perkara. Sedangkan untuk menyampaikan informasi tentang hukum yang harus ditaati atau bagaimana budaya hukum yang harus dibangun, saya pikir itu tugas hakim juga.

 

Tugas hakim bukan hanya memutus perkara. Dia membangun hukum di masyarakat. Menjadikan undang-undang itu living (hidup,-red). Itu tugas hakim. Jadi, orang tidak takut kepada hukum, tapi harus (sukarela) menaati hukum. Hukum jangan dipaksakan sebagai law is command atau perintah. Konsep itu sudah lewat.

 

Hukum bukan sekedar perintah. Tapi hukum hidup ada di hati masyarakat. Prof Tjip (Almarhum Satjipto Rahardjo,-red) sering bicara ini. Contoh hukum yang hidup di masyarakat, bila ada lampu merah, seandainya tak ada kendaraan sekalipun, dia tetap menunggu, karena hukum hidup di hatinya. 

 

Apakah membudayakan hukum di masyarakat ini juga tugas seorang hakim agung?

Iya. Hakim agung jelas punya kewajiban membangun budaya hukum di masyarakat. Hukum menjadikan masyarakat taat hukum. Karena hukum itu hidup.

 

Jadi, Anda akan tetap sering bicara ke publik?

Saya akan berbicara hal yang bukan kasus atau perkara. Saya tetap menaati prinsip kalau hakim itu harus diam. Itu konsep yang tak boleh dilanggar. Kode etik hakim memang melarang hakim untuk berbicara (ke publik,-red).

 

Sebenarnya, apakah yang mendorong Anda ingin menjadi hakim agung, bukankah jabatan sebagai legislator sudah cukup untuk memperbaiki hukum di Indonesia?

Saya terbeban untuk membangun kembali hukum yang sekarang terasa sekali hukum tak bisa berbuat apa-apa. Itu indikasi yang kita temukan. Jadi ada dua pertanyaan para pakar-pakar hukum di masyarakat, hukum tak lagi bisa menyelesaikan masalah-masalah. Sementara, penyelesaian masalah itu ada di pengadilan. Tidak ada di penyidik atau penuntut umum. Ini tantangan bagi saya.

 

Para pakar bertanya ada apa dengan hukumnya sendiri. Penegakan hukum tak berjalan dengan semestinya. Dua hal inilah yang mendorong saya untuk beri dukungan ke MA sebagai sentral dari penegakan hukum di negara ini, untuk saya bisa beri dukungan.

 

Saya sangat tertarik dengan renstra 2010-2035 MA dan Blueprint MA. Pertama, saya baca bagaimana MA punya visi dan misi untuk menjaga independensi peradilan untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat secara independen. Kedua, meningkatkan dan menjaga wibawa peradilan untuk bisa dipercaya.

 

Dua visi dan misi ini adalah saya lihat sangat bagus. Tapi yang kurang hanya aplikasinya. Jadi, saya masuk untuk mengisi aplikasi dua hal tadi. Tapi yang utama, saya terima kasih kepada Komisi Yudisial dan DPR yang berikan kesempatan kepada saya untuk bekerja keras di tempat yang kalau bagi saya, tempat yang sangat berarti untuk bangsa ini. Saya anggap MA seperti itu. Karena semua tertumpu pada persoalan hukum saat ini.

 

Saya sitir perkataan Theodore Roosevelt, Presiden Amerika Serikat (AS) ke-26, beliau katakantawaran yang paling berharga dalam hidup adalah bekerja keras di tempat yang berarti. Saya telah diberi kesempatan, jadi harus bisa bekerja keras untuk mengisi tempat yang berarti. Investor dan semua perilaku dari masyarakat bersumber dari hukum.

 

Ada pemahaman, kalau rakyat ini tak ada yang memimpin sekalipun, tapi kalau hukum di jiwa masyarakat, tak ada persoalan walau tak ada pemimpin. Tak ada pemerintah atau DPR, tak ada persoalan asal hukum hidup di masyarakat

 

Tak ada yang memandu dan memaksa. Artinya hukum harus hidup di masyarakat. Hakim tidak sekedar membaca kata-kata dalam undang-undang, tapi hakim harus bisa mencari hukum dalam undang-undang itu. Undang-undang dan hukum beda. Undang-undang tertulis itu yang dibuat DPR. Hakim tak sekedar baca Undang-undang, tapi harus menemukan hukum secara adil.

 

Apakah keluarga mendukung Anda menjadi hakim agung?

Keluarga saya sebagian besar berkiprah di bidang hukum. Anak saya hakim, delapan tahun dia jadi hakim. Putra kedua. Yang pertama berijazah notaris, dia MKN, tapi dia lebih ke konsultan hukum. Memang itu keluarga saya. Jadi kami dari keluarga yang mengedepankan hukum di masyarakat.

 

Sebentar lagi Ketua MA Harifin A Tumpa pensiun. Apakah Anda tertarik menggantikannya?

Saya amat sangat jauh tentang kedudukan (Ketua MA). Yang penting saya bisa berbuat. Saya juga nggak keberatan ketika saya harus mundur dari BK. Saya kritisi dan membangun. Jabatan bukan tujuan

 

Apakah ada calon kuat yang anda akan dukung?

Belum ada. Karena saya belum masuk, saya belum melihat peta di sana.

Tags: