Kerugian dalam Pelayanan Publik Harus Riil
Berita

Kerugian dalam Pelayanan Publik Harus Riil

Besaran ganti rugi dapat ditetapkan appraisal, atau atas rekomendasi Ombudsman.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Pemerintah rancang Perpres mekanisme pengaturan tata cara dan mekanisme pembayaran ganti rugi dalam pelayanan publik. Foto: SGP
Pemerintah rancang Perpres mekanisme pengaturan tata cara dan mekanisme pembayaran ganti rugi dalam pelayanan publik. Foto: SGP

Pemerintah merancang Perpres yang mengatur tata cara dan mekanisme pembayaran ganti rugi dalam pelayanan publik sebagai aturan pelaksanaan Pasal 50 ayat (8) UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Perpres tersebut dimaksudkan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan publik khususnya mengenai pembayaran ganti rugi. Namun, mekanisme dan ketentuan pembayaran ganti rugi yang diatur dalam Perpres ini hanya berlaku untuk tuntutan ganti rugi materiil yang diputuskan oleh penyelenggara sebagai akibat penyelenggaraan tidak sesuai dengan standar pelayanan.

 

Mekanisme yang terlalu mudah ini dikhawatirkan ganti rugi dalam pelayanan publik jadi ajang cari nafkah. Oleh karena itu ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi. Agar tak terlalu gampang disalahgunakan, Pemerintah menetapkan kerugian yang diderita harus riil, dan bersifat materiil. Undang-Undang Pelayanan Publik memang memungkinkan pengadu menuntut ganti rugi dari penyelenggara disertai bukti-bukti kerugian yang diderita.

 

Pasal 13 ayat (1) rancangan Perpres yang salinannya diperoleh hukumonline, menyebutkan besarnya ganti rugi ditetapkan setinggi-tingginya senilai kerugian yang nyata-nyata dialami oleh pengadu. Kerugian itu pun harus bersifat materiil. Pengadu adalah orang perorangan, penduduk, kelompok atau badan hukum yang secara langsung maupun tidak langsung terbukti mengalami kerugian materiil akibat kesalahan atau kelalaian penyelenggara pelayanan publik. Pasal 4 huruf c juga menegaskan ‘adanya kerugian materiil’ sebagai salah satu kriteria pembayaran.

 

Pembatasan hanya kerugian materiil itu dikritik Jaka Anom Ahmad Yusuf. Pengurus Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) ini menegaskan ada kerugian immateriil yang dialami masyarakat, khususnya kaum disabilitas, atas ketidaknyamanan pelayanan publik. Stigma masyarakat bahwa kaum disabilitas tidak bisa jalan sendiri hanya karena tidak tersedia fasilitas pelayanan publik berdampak psikologis yang tidak bisa diukur dengan materi. “Ada hal-hal immateriil lebih dahsyat,” ujarnya.

 

Penyelenggara layanan bisa membayar secara sukarela tuntutan ganti rugi berdasarkan komplain pengadu disertai bukti. Tetapi bisa juga membayarnya berdasarkan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Masalahnya, kata Suhariyono AR, Sekjen ORI, masih banyak rekomendasi Ombudsman diabaikan lembaga penyelenggara layanan.

 

Alternatif lain, besaran ganti rugi ditetapkan oleh tenaga profesional penilai (appraisal). Pasal 13 ayat (2) rancangan Perpres menyebutkan ganti rugi dapat ditetapkan berdasarkan hasil penilaian lembaga appraisal.

 

Peraturan Menteri Keuangan No. 125/PMK.01/2008 memungkinkan seorang penilai publik memberikan jasa penilaian properti dan bisnis, termasuk hak dan kewajiban perusahaan dan kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh perbuatan tertentu. Secara yuridis, tidak ada masalah jika perhitungan ganti rugi melibatkan Ombudsman.

Tags: