Posisi LKBH Kampus dalam UU Bantuan Hukum
Berita

Posisi LKBH Kampus dalam UU Bantuan Hukum

Undang-undang memberi mandat kepada Menteri Hukum dan HAM untuk lakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga pemberi bantuan hukum.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Pemerintah akan menganggarkan bantuan hukum kepada rakyat miskin dalam APBN. Foto: SGP
Pemerintah akan menganggarkan bantuan hukum kepada rakyat miskin dalam APBN. Foto: SGP

Ini kabar baik bagi pencari keadilan! Pemerintah akan menganggarkan bantuan hukum kepada rakyat miskin dalam APBN. Dana itu akan disebar kepada lembaga bantuan hukum (LBH) dan organisasi masyarakat yang selama ini telah mendampingi rakyat kecil mencari keadilan. LBH dan ormas tadi, oleh RUU Bantuan Hukum, disebut sebagai pemberi bantuan hukum.

 

Tetapi penting diingat, tak sembarang pemberi bantuan hukum bisa mendapatkan dana APBN itu. Wet yang dalam proses pengundangan itu memberi mandat kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memverifikasi dan akreditasi lembaga pemberi bantuan hukum. Pedoman teknis verifikasi dan akreditasi memang belum keluar. Karena itu, belum jelas LBH atau ormas mana saja yang akan diverifikasi dan diakreditasi.

 

Lembaga Bantuan dan Konsultasi Hukum (LKBH) yang ada di kampus, misalnya. Posisi LKBH tak disinggung secara eksplisit. Pasal 1 angka 3 hanya mendefinisikan Pemberi Bantuan Hukum sebagai lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang ini.

 

Untuk bisa masuk kategori Pemberi Bantuan Hukum, Pasal 8 UU Bantuan Hukum, mensyaratkan LBH atau ormas harus berbadan hukum, terakreditasi, memiliki kantor atau sekretariat tetap, memiliki pengurus, dan memiliki program bantuan hukum. Berdasarkan syarat-syarat inilah tim akan melakukan verifikasi dan akreditasi. Agar penilaiannya independen, tim verifikasi dan akreditasi tak hanya melibatkan pegawai Kementerian Hukum dan HAM, tetapi juga akademisi, tokoh masyarakat, dan lembaga atau organisasi yang memberi layanan bantuan hukum.

 

Zairin Harahap mengkritik jika verifikasi dan akreditasi main pukul rata. Menurut mantan Direktur LKBH Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini, LKBH kampus yang sudah melekat pada universitas tak perlu diverifikasi. Apalagi LKBH kampus non-profit. “Nggak perlu diverifikasi. Itu makin menambah birokrasi,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Zairin mengingatkan LKBH kampus mempunyai fungsi sosial. Ia bukan saja sebagai tempat mengadvokasi masyarakat, tetapi juga tempat tumbuhnya idealisme membantu masyarakat bagi mahasiswa. Semakin banyak LKBH justru akan semakin membantu program pemerintah. Itu sebabnya, Zairin heran mengapa LKBH terus dipersulit, bahkan cenderung dipinggirkan.

 

“Yang seharusnya dilakukan Pemerintah adalah deregulasi, bukan malah menambah persyaratan yang mempersulit pemberian bantuan hukum kepada masyarakat,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait