Kisah Mr Sjafruddin dan Kuliah Prof Eggens
Sejarah Hukum:

Kisah Mr Sjafruddin dan Kuliah Prof Eggens

“Segala perbuatan dan pekerjaan kita harus didasarkan pada kejujuran”

Oleh:
Ash/Mys
Bacaan 2 Menit
Kisah Mr Sjafruddin dan Kuliah Prof Eggens
Hukumonline

Banyak tokoh perjuangan Indonesia di awal kemerdekaan merupakan lulusan Rechtshogeschool. Salah seorang tokoh yang memperoleh gelar Meester in de Rechten dari kampus cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu adalah Sjafruddin Prawiranegara. Lantaran lebih banyak berkecimpung di bidang moneter dan ekonomi. Ia tercatat pernah menjadi Menteri Keuangan, dan Menteri Kemakmuran Rakyat.

 

Tidak ada yang meragukan jiwa nasionalismenya. Lahir di Banten pada 28 Februari 1911, Sjafruddin menghabiskan puluhan tahun hidupnya untuk mengabdi kepada Republik. Bahkan ketika Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap Belanda, Sjafruddin dan tokoh-tokoh PDRI-lah yang berperan melanjutkan usia negara ini. Kontribusinya pada masa-masa perjuangan dituangkan dalam beberapa tulisan, salah satunya “Mr Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah” diluncurkan Sabtu (15/10) lalu.

 

Banyak tokoh memberikan testimoni dan pandangan mereka tentang Sjafruddin. Sayang, tak banyak digambarkan kiprah dan pandangannya mengenai hukum. Salah satu kisah yang sering diungkap adalah ‘perselisihan’ Sjafruddin dengan Prof J Eggens, mahaguru Rechthogeschool di Batavia.

 

Prof Eggens dikenal sebagai pengajar yang sulit dihadapi. Ida Anak Agung Gde Agung (Juli 1921-April 1999), pahlawan nasional, punya catatan saat mengikuti kuliah Eggens. Keistimewaan Prof Eggens saat kuliah adalah dia menganggap semua mahasiswa sudah membaca buku, mempelajarinya, dan mempersiapkan bahan-bahan di rumah. Dia menganggap mahasiswa sudah membuat sistematika dan pokok-pokok hukum perdata. “Seolah-olah kami semua sudah pakar dalam hukum perdata itu”. Di mata Anak Agung Gde Agung, Prof Eggens adalah pengikut setia teori Hegel. Saat memberi kuliah perdata, ia banyak mengutip pemikiran Hegel. “Memang sudah mengikuti kuliah Prof. Eggens itu”.

 

Dalam literatur hukum perdata klasik, nama Prof Eggens sering dikutip sebagai referensi. Tulisannya tak jauh-jauh dari hukum perdata. Misalnya, tulisan tentang perkembangan pemikiran hukum perdata pada abad terakhir, “Iets over van het privaatrechtelijk denken in de laaste eeuw” (1938).

 

Sjafruddin Prawiranegara termasuk mahasiswa Indonesia yang pernah mengenal pemikiran Eggens. Jiwa nasionalisme Sjafruddin tersinggung ketika dalam suatu kuliah Eggens menyebut bahasa Indonesia adalah bahasa primitif yang tidak mungkin menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Ucapan Eggens membuat Sjafruddin tersinggung dan marah. Kemarahannya dituangkan dalam sebuah tulisan di majalah USI (Unitas Studiosorum Indonesis).

 

Lewat artikelnya secara tidak langsung Sjafruddin menyebut Prof Eggens sebagai ‘seorang begajul Belanda’ (een Holandsche Kwajongen). Sjafruddin mengatakan ucapan yang merendahkan bahasa Indonesia tidak layak keluar dari mulut seorang guru besar Belanda, apalagi Eggens belum memahami secara utuh bahasa Indonesia. Bahasa yang dipakai dalam literatur hukum pada awalnya pun bukan bahasa Belanda, melainkan bahasa Latin dan bahasa Perancis.

Tags: