Tantangan dan Peluang Undang-Undang Bantuan Hukum
Fokus

Tantangan dan Peluang Undang-Undang Bantuan Hukum

Pengelolaan bantuan hukum akan satu atap. Pemerintah akan melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga-lembaga pemberi bantuan hukum. Dana asing untuk bantuan hukum tak diatur.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Salah satu lembaga Pemberi Bantuan Hukum (LPBH). Foto: M. Yasin
Salah satu lembaga Pemberi Bantuan Hukum (LPBH). Foto: M. Yasin

Sebagai orang yang berlatar belakang advokat, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin semestinya bisa bergerak cepat menindaklanjuti amanat Undang-Undang Bantuan Hukum. Wet yang disahkan DPR dan Pemerintah pada Oktober lalu mengamanatkan sang menteri untuk membentuk panitia yang akan melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga-lembaga pemberi bantuan hukum. Seorang pejabat tinggi di Graha Pengayoman membisikkan belum ada langkah konkret yang dilakukan, apalagi membentuk sebuah panitia dimaksud.

 

Padahal tugas panitia bukan pekerjaan mudah. Panitia inilah, yang menurut Undang-Undang, bertugas melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap Lembaga Pemberi Bantuan Hukum (LPBH). Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang. Lembaga mana saja yang masuk kategori LPBH dan apa saja standar yang harus dipenuhi dalam pemberian bantuan hukum kini berada di tangan Menteri Hukum dan HAM. Menteri juga yang akan menyusun rencana anggaran bantuan hukum. Yang pasti pemberian bantuan hukum akan terkonsentrasi di Kementerian Hukum dan HAM.

 

Pekerjaan rumah Kementerian bukan hanya menarik sistem bantuan hukum dari Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Polri, tetapi juga menetapkan standar-standar bantuan. Yang tak kalah pentingnya adalah verifikasi dan akreditasi LPBH. Mekanisme verifikasi dan akreditasi masih harus ditentukan Menteri. Inilah yang dikhawatirkan antara lain oleh Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Erna Ratnaningsih. Erna sangat khawatir verifikasi dan akreditasi itu akan menjadi alat kontrol terhadap lembaga-lembaga pemberi bantuan yang selama ini kritis terhadap pemerintah. Logikanya, semakin kritis suatu LPBH terhadap pemerintah, semakin sulit lembaga tersebut mendapatkan ‘tanda lulus’ verifikasi dan akreditasi.

 

Para pembentuk Undang-Undang tampaknya juga menyadari kekhawatiran Erna. Itu sebabnya, Pasal 7 ayat (2) menentukan panitia verifikasi dan akreditasi itu tak melulu beranggotakan orang Kementerian Hukum dan HAM. Unsur lain dalam Panitia adalah akademisi, tokoh masyarakat, dan lembaga atau organisasi yang memberi layanan bantuan hukum.

 

Siapa LPBH?

Mewakili 1.219 warga, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan baru saja memenangkan gugatan tingkat pertama model citizen law suit terhadap Pemerintah Kota (Pemko) Medan. Gugatan itu dilayangkan terkait nasib 17 calon pegawai negeri sipil Pemko Medan yang gagal menjadi Pegawai Negeri Sipil. Pada 26 Oktober lalu, Pengadilan Negeri Medan menyatakan Pemko Medan melakukan perbuatan melawan hukum.

 

LBH Medan bukan satu-satunya LPBH yang dikenal banyak mewakili kepentingan masyarakat. Ada belasan LBH di bawah bendera YLBHI tersebar di seluruh Indonesia. Kiprahnya pun sudah diketahui sejak puluhan tahun silam. Sejak kehadiran YLBHI ada banyak lembaga sejenis, dengan spefisikasi isu dan kegiatan. Advokasi dunia pers melahirkan LBH Pers, perjuangan di bidang kesehatan melahirkan LBH Kesehatan. Ada pula LBH Pendidikan yang khusus mengadvokasi masalah-masalah hukum di dunia pendidikan.

 

Namun tak semua lembaga pemberi bantuan hukum punya jejak rekam seperti YLBHI. Saat ini, kata Zairin Harahap, mantan Direktur LBH UI Yogyakarta, mungkin berdiri ratusan lembaga yang menamakan dirinya sebagai LBH. Ada yang mandiri ada pula yang melekat pada organisasi tertentu. Itu belum termasuk lembaga-lembaga konsultasi dan bantuan hukum yang ada di kampus. Lembaga-lembaga inilah yang menurut konsepsi Undang-Undang Bantuan Hukum akan diverifikasi dan akreditasi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: