Politik Hukum Pidana Yang Tersesat
Fokus

Politik Hukum Pidana Yang Tersesat

Persoalan hukum pidana materiil dan formal terus bermunculan. Politik tambal sulam regulasi bidang pidana justru tak menyelesaikan masalah. Diperparah oleh kebiasaan DPR dan Pemerintah membuat pidana baru.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Buku KUHP. Foto: SGP
Buku KUHP. Foto: SGP

Kegelisahan para ahli hukum pidana terus menumpuk. Dalam berbagai forum, mereka mengungkapkan rasa khawatir atas perkembangan tak terkendali perumusan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP. Tidak ada jumlah pasti berapa jumlah rumusan pidana dalam perundang-undangan nasional, katakanlah selama sepuluh tahun terakhir. Yang pasti nyaris setiap undang-undang yang dibuat DPR dan Pemerintah, mencantumkan norma pidana. Termasuk dalam peraturan yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi.

 

Kalau saja rumusan hukum pidana tersebut benar-benar didasari pertimbangan matang dan harmonisasi yang baik. Sebagian justru terkesan melanggengkan kekuasaan. Rumusan pidana lebih mengutamakan kepentingan elit politik, ketimbang mengedepankan hakikat keadilan. Gara-gara pertarungan elit politik lebih mengemuka dalam perumusan norma, banyak pasal pidana yang saling bertentangan.

 

Tidak mengherankan jika Prof Aswanto, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin, menyebut politik hukum pidana nasional masih berkarakter ortodoks. Pada karakter politik yang demikian, kata Aswanto, “hukum semata-mata dijadikan sebagai instrumentalia oleh penguasa”.

 

Kecenderungan makin tidak terkendalinya perumusan pidana membuat Komisi Hukum Nasional (KHN) galau. Kajian yang dilakukan KHN terhadap perundang-undangan bidang ekonomi sejalan dengan pandangan Aswanto. Fajrul Falakh, komisioner KHN, mengatakan ada variasi ketentuan pidana yang potensial membuat hukum nasional makin sengkarut. Ada yang menganut prinsip ultimum remedium, ada pula yang premium remedium. Malah kadang-kadang perumusan pidananya terkesan dipaksakan dengan mengabaikan keadilan. Sehingga pasal pidana itu tak pernah bisa diimplementasikan. “Ancaman pidana jangan hanya menakut-nakuti,” kata Fajrul.

 

Kebiasaan merumuskan pidana dalam setiap undang-undang tanpa menyesuaikan dengan asas-asas pidana umum bisa berbuntut panjang. Ada saja warga yang potensial dikriminalisasi. Misalnya, warga yang tinggal turun temurun di kawasan yang kemudian dijadikan perkebunan terancam pidana karena melanggar UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

 

Pasal 47 Undang-undang ini mengkriminalisasi siapapun yang mengganggu usaha perkebunan. “Apa yang disebut mengganggu usaha perkebunan itu tidak jelas,” kata Edi Sutrisno, juru kampanye Sawit Watch, lembaga advokasi masyarakat korban pembukaan perkebunan sawit.

 

Lantaran ketidakjelasan rumusan itulah, pada September lalu, Mahkamah Konstitusi membatalkan berlakunya Pasal 47  dan Pasal 21 UU Perkebunan tadi. Dan, ini bukan satu-satunya rumusan pidana yang dibatalkan.

Tags: