Bahasa Hukum: “Pembayaran Karena Khilaf”
Berita

Bahasa Hukum: “Pembayaran Karena Khilaf”

Undang-Undang Transfer Dana mengkriminalisasi penerima pembayaran karena khilaf tetapi enggan mengembalikan.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Bahasa Hukum: “Pembayaran Karena Khilaf”
Hukumonline

Pernahkah Anda mengirim uang ke nomor rekening yang salah? Atau, karena dilandasi iktikad baik Anda mengirimkan begitu saja uang kepada orang lain yang hanya Anda kenal lewat iklan di media massa? Jika ya, Anda mungkin bernasib sama dengan Haji Wawan Syarief Gunawan. Warga Babakan Ciparai, Bandung, ini nyaris kehilangan uang 205 juta rupiah. Duitnya sudah berpindah dari rekening sang pengusaha ke rekening Sutan Suryajaya, warga Klaten, Jawa Tengah.

 

Ringkas cerita, Pak Haji melihat iklan penjualan satu unit ekskavator di harian Kompas, lengkap dengan nama dan kontak yang bisa dihubungi. Beko merek Komatsu dihargai 310 juta. Tertarik, Pak Haji menghubungi H. Budi, contact person di iklan tersebut. Keduanya lantas sepakat dengan harga dan sistem pembayaran. Beko baru akan dikirim dari Klaten setelah Pak Haji mengirimkan uang muka sebesar 205 juta. Sesuai arahan Budi, Pak Haji mengirimkan secara bertahap uang muka ke rekening sebuah bank swasta atas nama Suta Suryajaya.

 

Nahas, begitu uang terkirim, beko yang dinanti tak kunjung tiba. Nomor telepon genggam Budi pun sudah tak bisa dihubungi. Apesnya lagi, Pak Haji belum pernah bertemu muka dengan Budi dan Sutan. Alamat keduanya pun masih ‘gelap’. Transaksi penjualan beko selama ini dilakukan melalui telepon. Pak Haji percaya saja karena termuat di iklan media ternama.

 

Khawatir menjadi korban penipuan, Haji Wawan melapor ke polisi. Polisi bergerak cepat dengan meminta blokir rekening tujuan pengiriman uang. Di hadapan penyidik, Sutan mengakui masuknya uang dan bersedia mengembalikan uang melalui penyidik pada 28 Juni 2006. Tetapi delapan bulan setelah pemblokiran uang, perkembangan perkara itu di Polresta Bandung tak jelas. Akhirnya, Haji Wawan menempuh upaya hukum perdata. Ia menggugat Sutan di PN Klaten.

 

Upaya Haji Wawan membuahkan hasil. PN Klaten, Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, dan Mahkamah Agung mengabulkan sebagian gugatannya. Pada Februari 2011 lalu, Mahkamah Agung menolak permhonan kasasi Sutan. Hakim memutuskan bahwa Sutan Suryajaya telah menerima ‘pembayaran yang tidak diwajibkan’ atau menerima ‘pembayaran karena khilaf’ dari penggugat. Pembayaran yang tidak diwajibkan atau pembayaran karena khilaf dalam konsep hukum Belanda disebut ouver schuldig de betaling.

 

Konsep pembayaran seperti yang menimpa Haji Wawan dikenal dalam pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata. “Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang: apa yang telah dibayarnya dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali”. Perikatan yang timbul karena pembayaran yang tidak diwajibkan itu termasuk perikatan melalui undang-undang tetapai lewat perbuatan manusia. Jenis lain kategori perikatan ini adalah zaakwaarneming alias perwakilan sukarela (pasal 1354 KUH Perdata) dan perikatan wajar (naturlijke verbintennisen).

 

Prof. Mariam Darus Badrulzaman, mahaguru Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, berpendapat lema ‘pembayaran’ dalam ketentuan ini adalah setiap pemenuhan prestasi, baik berupa pembayaran utang uang yang tidak diwajibkan maupun penyerahan benda yang tidak diwajibkan. Pasal ini juga menegaskan uang atau benda tersebut bisa ditagih kembali asalkan ada unsur kekhilafan. Dalam bukunya KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dan Penjelasan (1983), Prof. Mariam Darus menegaskan syarat pembayaran kembali tidak lepas dari pasal 1362 KUH Perdata. “Siapa yang dengan iktikad jahat telah menerima sesuatu yang tidak harus dibayarkan kepadanya, diwajibkan mengembalikan dengan bunga dan hasil, terhitung dari hari pembayaran…”.

Tags: