Orang Miskin Dilarang Mencari Keadilan
Fokus

Orang Miskin Dilarang Mencari Keadilan

Berbagai kasus yang muncul belakangan menimbulkan kesan keadilan hanya bagi pemilik modal. Hukum seolah barang komoditas yang bisa dibeli. Elegi keadilan terbentuk.

Oleh:
ihw
Bacaan 2 Menit
Kisah AAL, anak yang dimejahijaukan karena kasus pencurian sandal. Foto: SGP
Kisah AAL, anak yang dimejahijaukan karena kasus pencurian sandal. Foto: SGP

Tenang, Anda tak perlu repot-repot mencari buku dengan judul di atas. Karena ini memang bukan serial lanjutan dari buku ‘Orang Miskin Dilarang Sekolah’ maupun ‘Orang Miskin Dilarang Sakit’. Banyak kasus yang muncul belakangan memperlihatkan elegi penegakan hukum. Orang miskin gampang diproses ke meja hijau meski karena kesalahan kecil, tetapi hukum sulit menjangkau ‘ke atas’ dengan berbagai dalih.

Kisah AAL, anak yang dimejahijaukan karena kasus pencurian sandal, bukan hanya satu-satunya perkara yang bisa menimbulkan kesan keadilan hanya milik orang bermodal alias berpunya dan punya jabatan. Deretan kasus lain yang terjadi sepanjang 2011 memperlihatkan elegi penegakan hukum nasional di tengah sejumlah keberhasilan yang relatif minim. Di negeri ini orang yang lemah secara ekonomi dan struktur sosial bukan cuma susah mendapatkan hak atas pendidikan dan kesehatan, tapi juga sulit untuk mendapatkan keadilan.

Mirisnu Viddiana misalnya. Perempuan asal Jawa Timur ini terpaksa hengkang dari pekerjaannya setelah dipecat Bank Mandiri. Penyebabnya, ia memimpin Serikat Pegawai Bank Mandiri (SPBM) berdemonstrasi di hari libur kerja pada 2007 silam. Manajemen bank  menilai aksi SPBM telah menurunkan nama baik perusahaan.

Usahanya memperjuangkan keadilan lewat jalur hukum, sejauh ini selalu kandas. Di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, majelis hakim mengabulkan gugatan Bank Mandiri untuk memecat Viddi. Hakim menyalahkan tindakan SPBM menggelar demonstrasi. Menurut hakim, aksi unjuk rasa tak dikenal dalam upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sebuah pandangan yang akhirnya menumbalkan Viddi dan beberapa pengurus SPBM lainnya.

Tak cuma PHI Jakarta, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun telah dua kali mengubur impian Viddi untuk mendapatkan keadilan. Yaitu saat hakim mengandaskan gugatan class action SPBM dan kala hakim menolak gugatan Viddi tentang kepengurusan ganda SPBM.

Sebaliknya, usaha Viddi untuk memidanakan manajemen yang dianggap menghalang-halangi kebebasan berserikat justru menemui jalan buntu. Soalnya polisi menghentikan penyidikan dan menyatakan tak ada pelanggaran kebebasan berserikat karena SPBM tetap bisa melaksanakan aksi unjuk rasa. “Negeri ini katanya negara hukum, katanya! Tidak ada yang kebal hukum, katanya! Yah buktinya? Kapan hukum ini mau tegak? Antara percaya tapi nggak percaya (dengan hukum),” keluh Viddi.
   

Pernyataan bernada kekecawaan yang mendalam atas lemahnya penegakan hukum juga disuarakan Khoe Seng Seng. Pria penjual suvenir di ITC Mangga Dua ini kecewa dinyatakan pengadilan terbukti melakukan pencemaran nama baik terhadap PT Duta Pertiwi. Semua bermula ketika Aseng membuat surat pembaca menuding Duta Pertiwi melakukan kebohongan tentang status tanah ITC Mangga Dua. Meski telah membuat tanggapan lewat surat pembaca juga, Duta Pertiwi tetap menempuh jalur hukum secara perdata dan pidana. “Hukum (sanksi) hanya diperuntukkan bagi orang yang tak memiliki kekuasaan,” Aseng menyimpulkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait