Pluralisme Hukum di Tengah Konflik Agraria
Resensi

Pluralisme Hukum di Tengah Konflik Agraria

Konflik berlatar belakang kasus agraria terus terjadi di Tanah Air. Buku ini mengupas bagaimana konsep pluralisme hukum dipahami dan diterapkan terutama dalam konflik agraria.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
"Untuk Apa Pluralisme Hukum?". Foto: Rzk

Nama Mesuji dan Bima tak secara khusus disebut dalam buku ini. Namun tragedi kemanusiaan di kedua daerah ini cukup menjadi dasar berpikir kita tentang bagaimana kepentingan masyarakat sekitar sering terpinggirkan oleh kepentingan kapitalisme bernama investasi.

Dengan mengatasnamakan hukum positif negara, kelompok-kelompok masyarakat, terutama masyarakat adat, semakin tak mendapat tempat di wilayah asal mereka ketika terjadi konflik agraria. Konflik agraria di sini bukan hanya bicara tentang rebutan tanah, tetapi juga sumber-sumber daya alamnya.
 

Dalam menghadapi konflik agraria, pemerintah cenderung mengedepankan hukum formal tertulis. Sebagian dibuat dengan mengangkangi prinsip-prinsip hukum agraria yang diatur dalam UU No 5 Tahun 1960. Berbekal peraturan semacam itulah aparat menggunakan kacamata kuda melihat konflik agraria. Seolah-olah hanya satu hukum yang berlaku di bidang agraria, yaitu hukum positif nasional. Seolah-olah masyarakat tidak punya hukum dan mekanisme sendiri yang bisa menyelesaikan konflik, bahkan mencegah jika ada potensi konflik. Keragaman budaya, etnisitas, dan indikasi sosio-antropologis lainnya terabaikan.
 

Jika ada keberagaman hukum di satu sisi, dan keinginan menyatukan seluruh elemen masyarakat ke dalam satu nation, pertanyaan tentang pluralisme hukum akan selalu muncul. Pluralitas hukum merupakan suatu keniscayaan dalam masyarakat plural (hal. 1).
 

Buku ini diangkat dari tulisan sejumlah pakar dan pengalaman riil sejumlah aktivis pendampingan masyarakat. Ada Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga Prof Soetandyo Widnjosoebroto, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Liwina Inge Nurtjahyo, peneliti HuMA, Andiko, dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Taqwaddin Husein, dan Direktur Eksekutif Epistema Institue, Myrna A Safitri. Myrna sekaligus menjadi editor buku setebal 200 halaman ini.
 

Pluralisme hukum sebenarnya bukan gagasan baru, bukan pula materi yang baru diperdebatkan. Studi klasik menunjukkan pluralisme hukum di Indonesia telah menjadi debat panjang para akademisi, praktisi, dan aparat pemerintah sejak zaman Belanda. Namun perdebatan itu bukan hanya hidup di zaman ketika Belanda menerapkan politik adu domba, tetapi juga hidup hingga sekarang.

Penyebabnya tak lain adalah realitas masyarakat Indonesia yang beragam dalam banyak hal. Mereka punya kelaziman-kelaziman dan tradisi turun temurun, punya hukum tradisional yang digunakan mengatur antara lain pembagian tanah dan konflik, bahkan punya lembaga-lembaga yang bertugas menyelesaikan berbagai persoalan.

 

Pada saat yang sama, negara berusaha ‘memaksakan’ hukum nasional untuk diberlakukan ke seluruh masyarakat tanpa perbedaan perlakuan. Adakalanya hukum nasional yang ingin dipaksakan itu tak sesuai dengan kelaziman masyarakat. Maka, ketika hal itu terjadi, hukum negara yang tak sesuai dengan ‘hukum’ rakyat itu cenderung tak akan dipilih. Bukan mustahil masyarakat akan melawan (hal. 28).
 

Di lapangan agraria misalnya. Hukum positif negara, termauk konstitusi, berusaha mengakui eksistensi hukum adat. Tetapi dalam praktik, konflik agraria, konflik pertambangan, dan konflik kehutanan menunjukkan masyarakat adat tetap dalam posisi marjinal. Benturan-benturan yang terjadi di lapangan dalam pengalokasian tanah dan kekayaan alam akan selalu melahirkan konflik sosial dengan korban terbesar adalah masyarakat hukum adat (hal. 91).
 

Halaman Selanjutnya:
Tags: