Pergeseran Paradigma Pemidanaan
Resensi

Pergeseran Paradigma Pemidanaan

Buku ini merangkum secara ringkas perkembangan pola pemidanaan dari konsep balas dendam hingga keadilan restoratif.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Buku ini merangkum secara ringkas perkembangan pola pemidanaan dari konsep balas dendam hingga keadilan restoratif. Foto: SGP
Buku ini merangkum secara ringkas perkembangan pola pemidanaan dari konsep balas dendam hingga keadilan restoratif. Foto: SGP

Pola penyelesaian kasus pidana dan penghukuman ala hukum adat, yang lebih mementingkan mediasi dan keseimbangan masyarakat, kembali mendapat tempat. Konsep restorative justice dengan variasi antara lain mediasi penal pada hakikatnya dijalankan masyarakat adat dan kini hendak diangkat ke dalam hukum positif (hal. 140). RUU Sistim Peradilan Pidana Anak (SPPA) termasuk yang mengakomodir konsep restorative justice.

Pengakuan terhadap konsep keadilan restoratif dalam hukum positif memang belum menyeluruh. Sebagian baru pada tataran teknis seperti Surat Keputusan Bersama enam lembaga tentang Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Tetapi putusan hakim dan doktrin sudah sangat mendukung penerapan keadilan restoratif pada kasus-kasus pidana tertentu, terutama anak.

Kondisi ini menunjukkan terjadinya pergeseran paradigma pemidanaan di Indonesia. Sejak Beccaria mengemukakan pandangannya pertama kali tentang konsep penghukuman, pemidanaan lebih dipandang sebagai bentuk balas dendam. Tetapi pandangan tentang pemidanaan terus berkembang seiring munculnya para pendukung aliran abolisionism, yang semula merupakan gerakan untuk menghapus hukuman mati. Perkembangan termutakhir adalah konsep keadilan restoratif. Setiap ada perubahan paradigma, pasti ada perdebatan tentang untung rugi, plus minus.

Perdebatan itu muncul atas dasar kesadaran bahwa persoalan pemidanaan bukanlah sekadar proses sederhana untuk memasukkan seseorang ke dalam penjara atau mewajibkan seseorang membayar denda dan uang pengganti. Pemidanaan pada dasarnya merupakan gambaran dari sistim moral, nilai kemanusiaan dan pandangan filosofis suatu masyarakat pada masa tertentu. Jadi, pemidanaan pasti akan meliputi persoalan filosofis, sosiologis, dan kriminologis (hal. 3).

Buku “Pergeseran Paradigma Pemidanaan” hadir untuk menunjukkan pergeseran demi pergeseran yang terjadi sejak paham utilitarianisme hingga aliran retributif (hal. 47-49). Penulis, Eva Achjani Zulfa, adalah seorang akademisi penyandang gelar doktor ilmu hukum yang sehari-hari mengajar di Universitas Indonesia. Eva –dibantu Prof Indriyanto Seno Adji--menulis buku ini lantaran literatur pidana yang ada masih lebih banyak membahas sanksi pidana dan pemidanaan secara terpisah. Masih jarang referensi yang secara khusus membahas perkembangan dan pergeseran sistim pemidanaan itu. Buku ini hadir untuk mengisi kekosongan tersebut.

Judul

Pergeseran Paradigma Pemidanaan

Penulis

Eva Achjani Zulfa

Indriyanto Seno Adji

Penerbit

Lubuk Agung, Bandung

Edisi perdana

2011

Halaman

201, termasuk glosarium


Jika dibaca dalam konteks mengisi kekosongan, buku ini jelas sangat memberi manfaat kepada mahasiswa atau penggiat hukum pidana. Pemidanaan termasuk cara-cara penghukuman klasik seperti suntik mati (lethal injection), kursi listrik, hukum gantung, tembak mati, dan kamar gas digambarkan sekilas. Namun, jika Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang sistem pemidanaan yang dikenal dalam KUHP, buku ini bukanlah rujukan yang layak dan mendalam.

Buku karya Eva Achjani ini sebagian besar membahas keadilan restoratif dengan berbagai varian dan perkembangannya. Kekuatan buku ini justru terletak pada upaya penulis ‘menjembatani’ pergeseran paradigma pemidanaan itu dalam konteks hukum pidana Indonesia. Benar ada disparitas, benar pula ada problem dalam kelembagaan setelah pidana dijatuhkan. Yang terakhir ini berkaitan dengan sistim pemasyarakatan yang masih terjerat masalah-masalah klasik (hal. 117 dst).


Dua hal teknis yang terasa mengganggu dari buku ini adalah clerical error dan bibliografi. Kita dapat menemukan banyak kesalahan cara penulisan sesuai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu, catatan kaki dalam buku ini cukup banyak, tetapi tak tercantum dalam daftar pustaka.

Mudah-mudahan kedua kejanggalan teknis itu tak mempengaruhi semangat dan niat Anda untuk membaca karya bagus sang penulis. Mulailah dengan satu filosofi: membaca itu gratis. Selamat membaca…!

Tags: