Pemberi Bantuan Hukum Bukan Monopoli Advokat
Berita

Pemberi Bantuan Hukum Bukan Monopoli Advokat

Pemerintah diminta tidak melupakan peran paralegal dalam perundang-undangan lain.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Ketua DPN Peradi Otto Hasibuan ingatkan agar pemberi bantuan hukum di pengadilan harus advokat. Foto: SGP
Ketua DPN Peradi Otto Hasibuan ingatkan agar pemberi bantuan hukum di pengadilan harus advokat. Foto: SGP

Pemerintah mulai menyusun dan membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum. RPP ini adalah peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UUBH). Salah satu poin yang menimbulkan perdebatan dalam pembahasan adalah kualifikasi pemberi bantuan hukum. Sama halnya dengan kriteria penerima bantuan hukum.

Pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2011. Pada tataran praktis, pemberi bantuan hukum bisa advokat, dosen, paralegal, bahkan mahasiswa fakultas hukum. Konteksnya adalah memberi bantuan hukum probono kepada orang miskin.

Peluang yang diberikan UUBH terhadap dosen, paralegal, dan mahasiswa fakultas hukum mendapat kritik dari kalangan advokat. Saat Undang-Undang ini diseminarkan di Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan Bandung tahun lalu, Ketua DPN Peradi Otto Hasibuan mengingatkan agar pemberi bantuan hukum di pengadilan harus advokat. Kalaupun dosen, paralegal, atau mahasiswa hukum ingin berpraktik, mereka harus di-endorse oleh organisasi advokat.

Keberatan itulah tampaknya yang diakamodir pemerintah. Dalam RPP yang tengah disusun pemerintah bersama pemangku kepentingan lain, klausul keharusan advokat itu diakomodir. Pasal 15 RPP merumuskan “pemberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud pasal 13 adalah advokat yang memenuhi persyaratan praktik dan beracara berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat”.

Rumusan pasal ini menutup peluang paralegal, dosen, atau mahasiswa non-advokat untuk memberi bantuan hukum di pengadilan. Kalangan paralegal dan dosen memprotes rumusan ini. Forum Akses Keadilan untuk Semua (Fokus), kumpulan sejumlah lembaga pemerhati UUBH, menegaskan pemberi bantuan hukum bukan monopoli advokat.

Uli Parulian Sihombing, Direktur Indonesian Legal Resource Center (ILRC), mengingatkan UUBH menyebut empat elemen yang dapat memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan miskin, yakni advokat, dosen, paralegal, dan mahasiswa hukum. Keempat elemen dijamin hukum sebagai bagian dari aktivitas bantuan hukum yang bekerja di bawah organisasi pemberi bantuan hukum.

“Peraturan Pemerintah tak perlu lagi membatasi bahwa yang dapat memberikan bantuan hukum hanyalah advokat,” kata Uli, dalam pernyataan pers Fokus di Jakarta, Selasa (6/3) kemarin.

Hal yang perlu dilakukan, kata Uli, adalah memperjelas ruang lingkup kerja masing-masing dalam memberikan bantuan hukum. Misalnya, mahasiswa dan dosen bisa mendampingi dalam proses penyidikan di kepolisian atau kejaksaan.

Jika pemerintah memaksakan pemberi bantuan hukum harus advokat, itu sama saja pemerintah melupakan peraturan perundang-undangan lain yang mengakomodir paralegal untuk mendampingi pencari keadilan. Dalam Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial, misalnya, serikat buruh bisa memberikan bantuan hukum kepada anggotanya yang berhadapan dengan hukum, termasuk di sidang Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Tidak ada syarat mutlak pendamping buruh bersangkutan harus advokat.

Berdasarkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) pun dimungkinkan paralegal mendampingi perempuan korban kekerasan. Pasal 23 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tersebut memungkinkan ‘pendamping’ mendampingi korban mulai dari penyidikan hingga pemeriksaan di pengadilan. Dalam sidang permohonan pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi tak jauh beda, orang non-advokat dimungkinkan beracara meski pendamping non-advokat tidak diharuskan pakai toga.

Seorang wakil pemerintah dalam penyusunan RPP itu mengatakan bahwa rumusan Pasal 15 masih mungkin diperbarui sesuai proses pembahasan. Pemerintah menerima masukan dari banyak pihak. Proses pembahasan RPP juga melibatkan organisasi advokat, LBH dan akademisi. Bagaimana rumusan akhir Pasal 15 RPP sangat tergantung pada proses pembahasan. Saat ini RPP masih terus digodok.

Tags: