Sanksi Pidana Mematikan Profesi Akuntan Publik
Berita

Sanksi Pidana Mematikan Profesi Akuntan Publik

Aturan pidana dalam UU Akuntan Publik, selain tidak memberi manfaat, juga bertentangan dengan tujuan pembentukan undang-undang itu.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Sidang pengujian UU Akuntan Publik Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: SGP
Sidang pengujian UU Akuntan Publik Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: SGP

Apabila politik hukum pidana yang tertuang dalam Pasal 55 dan 56 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik tetap dipertahankan, maka akan mematikan profesi akuntan publik. “Jika aturan pidana dalam UU Akuntan Publik itu tetap dipertahankan, dalam arti tidak berkehendak untuk ditinjau ulang, maka akan mematikan profesi akuntan publik,” kata Prof. Arief Amrullah.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember itu memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU Akuntan Publik di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (8/3).

Arief mengatakan pengenaan sanksi pidana bagi profesi akuntan tidak sejalan dengan tujuan pembentukan UU Akuntan Publik, seperti tertuang dalam konsiderans. Di satu sisi, profesi jasa akuntan publik begitu diperlukan di negeri ini karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Di sisi lain posisi akuntan publik akan menjadi terancam sehubungan adanya Pasal 55 dan 56 UU Akuntan Publik. “Hal ini berarti dengan sendirinya UU Akuntan Publik bertentangan dengan UUD 1945,” kata Arief.

Arief menilai pembentuk UU Akuntan Publik ini tampaknya rancu dalam memahami istilah manipulasi dan kertas kerja. Sebab, kedua istilah yang digunakan dalam akuntan publik itu masih belum diadaptasi dalam istilah hukum. “Perbuatan manipulasi  dan kertas kerja dalam konteks akuntan publik seharusnya bukan merupakan perbuatan yang dilarang,” jelasnya.

Menurutnya, hubungan hukum antara pihak akuntan publik dan kliennya adalah lebih bersifat keperdataan, sehingga menjadi janggal jika perbuatan manipulasi ditarik menjadi hukum pidana. “Jadi tindak pidana pemalsuan cukup mengacu pada KUHP, kecuali ada yang lebih spesifik yang tidak diatur dalam KUHP patut dipertimbangkan untuk diatur dalam UU Akuntan Publik,” katanya.

Karena itu, ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 55 dan 56 UU Akuntan Publik patut dipertimbangkan untuk dicabut. Selain tidak memberi manfaat, ancaman itu juga bertentangan dengan tujuan pembentukan UU Akuntan Publik.

“Aturan pidana dalam UU Akuntan Publik tidak selalu harus mencantumkan ketentuan pidana, apalagi jika dipandang tidak memberi manfaat atau bahkan bertentangan dengan tujuan dibuatnya undang-undang itu,” tambahnya.

Pengujian ini diajukan oleh M Achsin, Anton Silalahi, Yanuar Mulyana, Rahmat Zuhdi, dan M. Zainudin. Mereka menilai ketentuan pidana pasal 55 dan 56 dalam UU Akuntan Publik bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) dan pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Pemohon menilai kata ‘manipulasi’ dalam Pasal 55 dan 56 UU Akuntan Publik menimbulkan ketidakpastian hukum dan terkesan ambigu dan multitafsir. Kata “manipulasi” sulit dipahami karena perbuatan manipulasi tidak ditemukan dalam rumusan dasar KUHP sebagai ketentuan pokok hukum pidana.

Hal yang diatur dalam KUHP hanya mengenai pemalsuan surat. Pasal 55 dan 56, ditinjau dalam perpektif hukum pidana yang humanitas, tidak tepat dan tidak proporsional.

Menurutnya, frasa perbuatan “menghilangkan data atau catatan pada kertas kerja” seharusnya tidak termasuk tindak pidana, tetapi masuk ke wilayah pelanggaran administratif. Sebab, kertas kerja (dokumen pendukung) bukan dokumen final pekerjaan Akuntan, melainkan opini.

Tags: