Perusahaan Harus Antisipasi Pelecehan Seksual
Berita

Perusahaan Harus Antisipasi Pelecehan Seksual

Harus mempunyai mekanisme yang jelas untuk mencegah dan menangani kasus pelecehan seksual di lokasi kerja.

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit
Foto: Ilustrasi (SGP)
Foto: Ilustrasi (SGP)

Disadari atau tidak seringkali kita melihat bentuk pelecehan seksual di lokasi kerja. Mungkin tindakan itu sekilas seperti perbuatan sepele, misalnya bersiul, berkerling, lelucon berbau seksual, mengirim pesan singkat berbau seksual, ajakan dan lainnya. Ketika tindakan itu kita lakukan terhadap seseorang dan dia tidak terima, maka dapat dikategorikan pelecehan seksual.

Masalahnya, banyak tindakan pelecehan seksual di lokasi kerja yang kasusnya tidak diselesaikan secara tuntas. Salah satu hambatan terbesarnya adalah ketakutan dari korban untuk mengadu karena diancam oleh pelaku.

S
eringkali korban yang posisinya sebagai pekerja diancam akan diturunkan jabatannya, dipotong gajinya, atau malah dipecat. Bahkan ada juga modus pelecehan seksual dengan mengumbar janji akan diberikan jabatan, kenaikan gaji dan lainnya. Permasalahan ini seolah hanya persoalan antar individu, tapi hal ini akan berbeda jika terjadi di lingkungan kerja.

Terkait masalah ini, perihal utama yang paling disorot khususnya di kalangan dunia usaha adalah citra sebuah perusahaan. Jika terdapat pelecehan seksual di suatu perusahaan dan diketahui oleh publik maka nama baik perusahaan itu akan tercoreng. Akibatnya tingkat kepercayaan rekan bisnis, pemangku kepentingan dan masyarakat kepada perusahaan akan merosot. Sehingga berpengaruh pada keberlangsungan bisnis perusahaan.

Dampak buruk itu bagi perusahaan bukan isapan jempol belaka. Ketua bidang Perempuan, Gender dan Sosial Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPN Apindo) Nina Tursinah menyebutkan ada perusahaan yang terkena imbasnya. Karena perusahaan itu menghasilkan produk ekspor maka importir di luar negeri tidak mau membeli produk itu karena terjadi pelecehan seksual di perusahaan tersebut. Walau dia enggan menyebutkan secara spesifik perusahaan itu tapi yang terpenting baginya pelecehan seksual yang terjadi di lokasi kerja jangan dianggap remeh oleh perusahaan.

“Sudah ada (perusahaan) yang ketahuan ada pelecehan seksual sehingga buyer (importir, -red) tidak mau menjual produknya, apalagi produknya itu dijual ke Walmart dan sebagainya,” tutur Nina dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (8/3).

Nina juga menuturkan bahwa negara pangsa ekspor produk Indonesia memiliki aturan yang sangat ketat sebelum membeli dan menjual kembali sebuah produk. Bukan hanya mengutamakan kualitas produknya, tapi juga bagaimana proses produksi itu dilakukan. Para pembeli akan melihat apakah produk itu dihasilkan dari perusahaan yang mempekerjakan anak, melakukan kerja paksa, pelecehan seksual (diskriminasi) dan pelanggaran kemanusiaan lainnya. Jika diketahui ada indikasi pelanggaran maka dengan tegas mereka akan menolak membeli produk tersebut, lanjut Nina.

Maka untuk mencegah hal itu Nina menekankan pentingnya peran pengusaha dan manajemen perusahaan untuk aktif mencegah terjadinya pelecehan seksual di tempat kerja. Pihak manajemen harus menanggapi pengaduan yang dilakukan pekerja. Bisa saja yang mengadu adalah korban, saksi, atau pekerja yang merasa terganggu dengan aktifitas yang mengarah pada tindakan seksual. Maka mekanisme pengaduan juga perlu diatur. Menurut Nina manajemen harus memiliki kebijakan, prosedur, program komprehensif dalam mencegah, menangani serta memberantas pelecehan seksual di tempat kerja.

Tanpa memandang perusahaan besar ataupun kecil, bagi Nina yang terpenting adalah perusahaan memiliki kebijakan yang tegas dan jelas tentang perlindungan pekerja dari pelecehan seksual. Untuk menangani kasus pelecehan seksual manajemen dapat menunjuk seorang pekerja (koordinator) yang bertugas menerima pengaduan, keluhan dan informasi dari pekerja.

Kemudian membuat prosedur penanganan aduan dengan prinsip cepat, tertutup dan adil. Sekaligus memastikan bahwa penyelidikan dan mekanisme penyelesaian kasus dilakukan dengan menjaga kerahasiaan dan adil. Dengan begitu diharapkan perusahaan dapat menuntaskan kasus pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja.

Lebih lanjut Nina menjelaskan sebaiknya proses penyelesaian dilakukan dalam lingkup internal perusahaan tanpa melibatkan pihak luar. Namun jika permasalahan tidak dapat diselesaikan di tingkat internal barulah penyelesaian dilakukan dengan melibatkan pihak luar. Misalkan melibatkan dinas ketenagakerjaan, konsultan atau bahkan kepolisian.

Atas dasar itu, menurut Nina, hal mendesak yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual di lokasi kerja adalah dengan memberi pengetahuan yang memadai kepada pengusaha dan pekerja. Untuk mewujudkan hal itu Nina menyebut telah melakukan sosialisasi ke berbagai provinsi di Indonesia. Dalam rangka memaksimalkan sosialisasi itu Apindo dan International Labour Organization (ILO) telah meluncurkan buku panduan yang ditujukan untuk dunia usaha. Buku itu memberi panduan bagaimana mencegah dan menangani pelecehan seksual di tempat kerja. Rencananya buku itu akan disebarluaskan ke berbagai perusahaan.

Dalam kesempatan yang sama Direktur Persyaratan Kerja, Kesejahteraan dan Analisis Diskriminasi Kemenakertrans Ruslan Irianto Simbolon menuturkan bahwa pihak Kemenakertrans pusat dan daerah akan membantu pihak pekerja yang mengalami pelecehan seksual. Menurutnya korban, saksi atau pelapor harus berani menjelaskan peristiwa yang dialaminya. Kemudian melaporkannya kepada atasan atau pihak manajemen. Setelah itu pihak manajemen harus mengkroscek dengan melakukan investigasi untuk menelusuri kasus itu. Hal itu ditujukan untuk mencegah pelaporan yang sifatnya hanya fitnah.

Selain itu, Irianto juga menyebutkan pentingnya peran perusahaan dalam membentuk suatu mekanisme untuk mencegah dan menangani kasus pelecehan seksual. Namun, jika dalam perusahaan tidak punya mekanisme itu maka dinas tenaga kerja (Disnaker) dapat membantu pihak pekerja dan pengusaha untuk menuntaskan masalah. Bahkan jika diperlukan Irianto menyebut ada tim pengawas yang akan memanggil pihak terkait untuk menuntaskan perkara ini.

“Sebetulnya kita menginginkan diatur di internal perusahaan mengenai pencegahan, penyelesaian dan sanksi. Tapi kalau pekerja mengadu kepada Disnaker (pemerintah) nanti kita akan lakukan pengecekan, kita undang pihak yang berkepentingan,” ujar Irianto kepada hukumonline.

Tapi jika para pihak yang berselisih tidak mau ditangani oleh pihak Disnaker maka permasalahan dapat dibawa ke ranah hukum. Atau dimungkinkan juga untuk dibawa ke pengadilan hubungan industrial (PHI) jika mau diselesaikan dengan mekanisme perselisihan ketenagakerjaan. Pada intinya Irianto menyebut pemerintah siap untuk memfasilitasi permasalahan yang terjadi dalam hubungan ketenagakerjaan termasuk pelecehan seksual di tempat kerja.

Tags: