Menakertrans: UU Ketenagakerjaan Layak Disempurnakan
Berita

Menakertrans: UU Ketenagakerjaan Layak Disempurnakan

Karena ada beberapa pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit
Menakertrans Muhaimin Iskandar katakan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan layak disempurnakan. Foto: SGP
Menakertrans Muhaimin Iskandar katakan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan layak disempurnakan. Foto: SGP

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan layak disempurnakan. Hal ini penting dilakukan karena sejak diberlakukan pada 2003 silam undang-undang itu telah tujuh kali diuji ke Mahkamah Konstitusi. Setidaknya ada 17 pasal dan 40 ayat yang sudah pernah diuji.

Mahkamah Konstitusi, lanjut Muhaimin, mengabulkan sebagian dari pengujian UU Ketenagakerjaan itu dengan menyatakan beberapa pasal tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena melanggar konstitusi. Atas dasar itu Muhaimin menegaskan UU Ketenagakerjaan layak menjadi prioritas prolegnas untuk disempurnakan.

Untuk menyempurnakan undang-undang itu, Muhaimin mengaku sebenarnya sudah pernah melakukan lobi dengan DPR untuk menggolkan revisi UU Ketenagakerjaan di tahun 2012, namun mendapat penolakan dari sebagian pihak pekerja sehingga revisi itu gagal dilaksanakan untuk tahun ini.

Saking sensitifnya revisi UU Ketenagakerjaan, Muhaimin juga menyebut selain Kemnakertrans, DPR juga ikut ‘ditekan’ oleh sebagian pihak pekerja. Walau begitu dia mengatakan kesempatan untuk mengajukan kembali revisi UU Ketenagakerjaan ke DPR masih terbuka.

"Revisi justru untuk memenuhi perlindungan kepada buruh. Terutama aspek-aspek yang menyangkut outsourcing dan berbagai (isi) undang-undang yang harus disempurnakan," ujar Menteri Muhaimin dalam Rapat Koordinasi Teknis bidang Hukum kepada jajaran Kemenakertrans di Bogor, Selasa (13/3).

Pada lain kesempatan, Hakim adhoc Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Juanda Pangaribuan secara pribadi berpendapat bahwa UU Ketenagakerjaan memang sudah sangat layak direvisi. Penyebabnya adalah karena sudah ada beberapa pasal yang dinyatakan tidak berlaku lagi.

Menurut Juanda, revisi UU Ketenagakerjaan yang bisa dilakukan adalah revisi yang sifatnya parsial berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Ia berpandangan bila langkah ini yang ditempuh dapat mengurangi potensi penolakan, baik dari pihak pengusaha maupun buruh.

Soal dasar hukum melakukan revisi parsial itu, Juanda menunjuk Pasal 10 Ayat (1) huruf d UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal itu menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya adalah tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi.

“Jadi tidak dibenarkan bila putusan Mahkamah Konstitusi ditindaklanjuti oleh peraturan menteri,” ujar Juanda saat menjadi pembicara dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan hukumonline bersama Apindo di Jakarta, akhir Februari lalu.

Terpisah, Anggota Komisi IX DPR Rieke Dyah Pitaloka menyatakan revisi UU Ketenagakerjaan belum perlu dilakukan. Menurut anggota dari fraksi PDI Perjuangan itu, hasil putusan MK tetap bisa dijalankan tanpa harus merivisi UU Ketenagakerjaan.

Lebih jauh, Rieke juga mengingatkan jika tujuan revisi itu hanya untuk memiskinkan kaum buruh maka dia dan Fraksi PDI Perjuangan akan menolaknya. Sayangnya draf revisi yang sempat diajukan kepada DPR, lanjut Rieke, mengarah ke sana.

“Jadi bukan undang-undangnya yang salah tapi pemerintahnya yang salah karena tidak menaati undang-undang (Ketenagakerjan, -red) itu,” tegas Rieke kepada hukumonline di gedung YTKI Jakarta, Senin (12/3).

Berdasarkan catatan hukumonline, MK beberapa kali mengabulkan permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan dan menyatakan beberapa pasal tak mengikat. Pertama kali adalah pengujian yang dilakukan Saepul Tavip dkk pada 2003 silam. Kala itu MK menyatakan Pasal 158 tentang kesalahan berat bertentangan dengan konstitusi. Selain Pasal 158, saat itu MK juga menyatakan Pasal 159 dan beberapa anak kalimat pada Pasal 160 ayat (1), Pasal 170, Pasal 171 dan Pasal 186 tidak berlaku.

Pada 2010 lalu, MK membatalkan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UU ketenagakerjaan
juga tidak berlaku. Awalnya pasal itu mengatur soal syarat perundingan Perjanjian Kerja Bersama.


Di penghujung 2011, MK merombak ‘kebiasaan’ cara menghitung upah proses sebagaimana diatur dalam Pasal 155 ayat (2).

Yang paling mutakhir adalah ketika Januari 2012 lalu Mahkamah Konstitusi memberi pandangan dalam putusannya agar praktik outsourcing tak bertentangan dengan konstitusi. 

Tags: