Banyak Perda Abaikan Kaidah yang Berlaku
Berita

Banyak Perda Abaikan Kaidah yang Berlaku

Iklim investasi di daerah terganggu lantaran banyaknya Perda yang bermasalah.

Oleh:
fnh
Bacaan 2 Menit
Banyak Perda Abaikan Kaidah yang Berlaku
Hukumonline

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, banyak peraturan daerah (perda) yang terbit terkait dengan objek yang ada di daerah tersebut. Sayangnya, jumlah perda yang bermasalah juga banyak. Umumnya, perda-perda bermasalah itu menyalahi kaidah yang berlaku. Tidak jarang, perda yang diterbitkan juga berhubungan erat dengan kepentingan pejabat daerah dan mengabaikan kepentingan umum.

Hal ini diungkapkan oleh Kepala Bagian Pengkajian dan Evaluasi Produk Hukum Kementerian Dalam Negeri, R Gani Muhammad, dalam diskusi yang diadakan hukumonline dengan tema “Peraturan dan Kebijakan Daerah Mengenai Sumbangan Pihak Ketiga dan Dampaknya Terhadap Kepastian Berinvestasi di Jakarta, Kamis (15/3).

Menurut Gani, minimnya pemahaman pemerintah daerah (pemda) mengenai makna otonomi daerah seperti yang tercantum dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, membuat mereka terjerumus dalam pelanggaran undang-undang. “Mereka mengambil makna yang seluas-luasnya sehingga kaidah-kaidah yang sudah ada tidak diperhatikan,” ujarnya.

Revisi UU No 32 Tahun 2004 diperlukan untuk mengatasi hal ini. Menurut Gani, ada beberapa poin dalam undang-undang tersebut yang harus diperjelas arahnya, sehingga tidak menjadi celah bagi Pemda untuk menerbitkan Perda yang diindaksikan melanggar undang-undang. Salah satunya adalah Pasal 157.

Dalam pasal ini disebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah atau PAD meliputi hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Kemudian, pendapatan daerah didapat dari dana perimbangan, serta lain-lain pendapatan daerah yang sah.

“Nah, lain-lain pendapatan daerah yang sah ini yang harus diperbaiki dan diperjelas agar tidak ada celah untuk penyimpangan seperti sumbangan ini, itu, yang tidak datur dalam undang-undang,” tegas Gani.

Bukan itu saja. Penerbitan perda terkadang didasari dengan kepentingan pimpinan daerah. Pemahaman otonomi daerah yang seluas-luasnya menjadi kendala bagi pemerintah pusat untuk menindaklanjuti hal ini. Apalagi, banyak perda yang terbit tanpa melaporkan terlebih dahulu kepada pemerintah pusat.

Perda bermasalah juga dapat memicu korupsi di kalangan pejabat daerah. Salah satu kasus korupsi yang telah ditemukan oleh BPK di beberapa daerah adalah penyalahgunaan dana hibah atau bantuan sosial (bansos). Perda tentang Sumbangan Pihak Ketiga memang menjadi payung hukum bagi implementasi dana hibah dan bansos.

Sejatinya, dana hibah dan bansos yang diambil dari APBD diperuntukkan bagi korban bencana alam atau diberikan kepada yayasan untuk kegiatan sosial. Namun pada praktiknya, dana ini diselewengkan dengan modus yang beragam seperti untuk membantu kegiatan partai politik.

Untuk mengatasi hal itu, Mendagri mengeluarkan Permendagri No 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos Yang Bersumber Dari APBD. Dengan terbitnya peraturan ini, para penerima hibah dan bansos harus bersiap membenahi laporan pertanggungjawaban keuangan. Peraturan ini juga mewajibkan Pemda untuk bertanggungjawab atas pemberiannya. Untuk dana hibah, pelaporan dan pertanggungjawabannya diatu dalam Pasal 16 sampai Pasal 21. Sedangkan untuk bansos, dijelaskan dalam Pasal 34 sampai Pasal 39.

Sementara itu, Sudiotomo Kartohadiprodjo dari kantor hukum NKN Legal berpendapat, iklim investasi di daerah terganggu lantaran banyaknya perda yang bermasalah. Merujuk pada data Bappenas, ia mengatakan saat ini terdapat 3.091 perda bermasalah dan harus dicabut atau direvisi. Selain itu, temuan Komisi Pengawasan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyatakan, 72 persen dari 1.481 perda yang ada di 245 kabupaten/kota masih menyebabkan biaya tinggi.

Sejauh ini belum ada kepastian hukum untuk mengatasi banyaknya perda yang bermasalah. Bagi pelaku usaha, hal ini jelas sangat merugikan mengingat mereka telah terikat perizinan dengan Pemda, terutama mengenai adanya ketentuan sumbangan wajib yang ditetapkan di dalam Perda.

“Belum ada Perpres yang mengatur mengenai pembatalan, sehingga selama periode 2010-2011 tidak ada Perda bermasalah yang dibatalkan,” kata lelaki yang biasa disapa Dudi ini.

Tags: