Ketua MUI Ibaratkan MK Seperti Tuhan
Utama

Ketua MUI Ibaratkan MK Seperti Tuhan

MUI mendesak agar UU MK direvisi.

Oleh:
ali salmande
Bacaan 2 Menit
Ketua MUI KH Ma’ruf Amin mempersoalkan putusan MK tentang anak luar nikah. Foto: Sgp
Ketua MUI KH Ma’ruf Amin mempersoalkan putusan MK tentang anak luar nikah. Foto: Sgp

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu bersifat final dan mengikat. Tak ada upaya hukum yang bisa dilakukan terhadap putusan MK. Dengan kewenangan yang besar ini, sudah selayaknya sembilan hakim konstitusi menjalankan kewenangannya ini dengan hati. Suatu perkara yang diadili harus ditimbang masak-masak agar tak menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Salah satu yang kesal dengan putusan MK adalah Majelis Ulama Indonesia (MK). Ketua MUI KH Ma’ruf Amin menilai ada problem ketatanegaraan ketika putusan MK bertentangan dengan hukum Islam, tetapi putusan itu tak bisa diajukan upaya hukum lagi, alias final and binding.

“MK itu sudah seperti Tuhan. Saya sebagai ulama menilai MK itu seperti tuhan selain Allah, berbuat seenaknya dan semaunya saja,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (20/3).


Pernyataan keras ini ditujukan kepada MK terkait putusannya terhadap pengujian UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. MK memutuskan bahwa anak luar kawin mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya. Selama ini, anak luar kawin hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Dampak putusan ini adalah anak luar kawin dianggap bisa memperoleh waris atau nasab dari ayah biologisnya.

MUI akhirnya menerbitkan fatwa terkait putusan ini. Fatwa MUI yang mengacu kepada syariat Islam ini menegaskan tak ada hubungan nasab (keturunan) dan waris antara anak hasil zina dengan ayah biologisnya. Meski begitu, MUI tetap berpendapat bahwa anak hasil zina harus dilindungi.

Dalam fatwanya, MUI menegaskan pemerintah harus menetapkan ta’zir (hukuman) kepada ayah agar menafkahi anaknya tersebut. Selain itu, ketika meninggal, si ayah juga harus memberikan harta kepada anaknya itu melalui wasiat wajibah.


Meski begitu, Ma’ruf mengakui tetap menghargai independensi MK. Ia meminta ke depan MK harus lebih hati-hati dalam memutus, tidak saja mengenai isi putusan yang akan dijatuhkan, tetapi juga harus mampu membayangkan jauh ke depan dan memahami dampak ekstrim putusan itu. Selain itu, MUI juga meminta agar MK hendaknya memberi tahu atau mengundang MUI bila pengujian UU menyangkut ajaran agama Islam.

Ma’ruf menuturkan MUI merekomendasikan kepada DPR dan pemerintah untuk membahas revisi UU MK dengan mengatur kembali hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan MK agar lebih proporsional, tidak berlebihan, dan melampaui batas kewajaran. Setidaknya, ada dua isu yang diharapkan oleh MUI untuk diatur dalam revisi UU MK kelak.

Pertama, agar ada ketentuan larangan bagi MK untuk menjatuhkan putusan yang isinya bertentangan dengan ajaran dari agama-agama yang diakui di tanah air, termasuk ajaran Islam. Kedua, ketentuan yang mengatur apabila putusan MK bertentangan dan melanggar ajaran agama-agama yang hidup dan berkembang di Indonesia maka putusan tersebut, sepanjang yang berkaitan dengan ajaran-ajaran agama, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Ketua Umum Ikatan Sarjana dan Praktisi Hukum Indonesia (ISPHI) Fredich Yunadi juga menilai putusan MK itu bermasalah. Ia bahkan memprediksi bahwa putusan ini akan menimbulkan banjir perkara mengenai sengketa waris di pengadilan. Anak luar kawin akan menggunakan putusan ini untuk memperkuat argumennya.

“Saya sebagai advokat sih senang saja karena akan semakin banyak sengketa waris di pengadilan. Namun, saya menilai putusan ini kurang tepat karena dikhawatirkan putusan ini justru digunakan perempuan untuk ‘menjebak’ laki-laki,” ujarnya.

Terkait langkah MUI yang berharap kewenangan MK agar dibatasi, Fredrich menilai itu hal yang sulit. Apalagi, MK sudah sering membatasi kewenangannya sendiri dalam UU MK. “Saya rasa percuma kalau dibatasi di UU MK. Pak Mahfud saja sudah bilang silakan revisi UU MK, nanti kami batalkan. Itu kan susah,” tuturnya.

Pemerhati Anak Seto Mulyadi mengakui putusan ini memang menimbulkan pro kontra. Di satu sisi ingin melindungi anak, tetapi di sisi lain ada ajaran Islam yang dilanggar. “Saya rasa apa yang disampaikan oleh Pak Ma’ruf (MUI) itu adalah jalan keluar. Anak tetap dilindungi, tetapi ajaran Islam tak ditabrak,” ujarnya.

“Ta’zir agar laki-laki menafkahi anaknya itu merupakan bentuk hukuman. Dan wasiat wajibah itu mungkin kata lain dari warisan tetapi mengacu ke hukum waris. Jadi, tak ada syariat atau hukum Islam yang dilanggar,” ujarnya.

Sementara, Wartawan Senior Maria Hartiningsih yang menyoroti isu gender bersikap agak abu-abu. Ia setuju dengan isi putusan MK itu dengan beberapa catatan-catatan. Ia berpendapat seharusnya MK memutus perkara itu tak hanya melihat dari satu pihak, tetapi juga melihat pihak yang lain.

“Seharusnya jangan melihat pihak (wanita) yang perkawinan tak tercatat, tetapi juga dilihat istri sah yang merasa dilukai atau dirugikan dengan diakuinya anak di luar perkawinan yang sah,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait