Hakim Pidana Harus Bisa Menggali Hukum Adat
Berita

Hakim Pidana Harus Bisa Menggali Hukum Adat

Pasca revisi KUHP, hakim harus rajin belajar hukum adat, bukan lagi sibuk bermain golf.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Guru Besar FH UI Harkristuti Harkrisnowo. Foto: Sgp
Guru Besar FH UI Harkristuti Harkrisnowo. Foto: Sgp

Upaya untuk memperkuat eksistensi hukum adat ke dalam sistem hukum Indonesia terus dilakukan. Salah satu contohnya adalah ketika Tim Perancang Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyandingkan asas legalistas dengan hukum adat atau hukum yang berkembang di masyarakat.

Asas legalitas adalah asas hukum yang menyatakan seseorang baru bisa dipidana bila sebelumnya ada peraturan perundang-undangan yang menyatakan perbuatannya itu sebagai tindak pidana.

Pasal 2 ayat (1) revisi KUHP menyatakan ‘Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) (asas legalitas,-red) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan’. Hukum adat diakomodasisepanjang sejalan dengan Pancasila, hak asasi manusia dan prinsip hukum umum.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo mengatakan dengan diakomodirnya hukum adat ke dalam KUHP ini maka ada pertanyaan selanjutnya yang akan timbul. Yakni, siapa yang akan menentukan delik atau tindak pidana adat itu. Pasalnya, hukum adat tidak tertulis. “Siapa yang menentukannya?” tuturnya di Jakarta, Kamis (22/3).

Harkristuti menjelaskan jawaban dari pertanyaan ini adalah hakim yang memutus perkara tersebut. Ini dikaitkan dengan peran hakim yang harus menggali rasa keadilan yang ada di masyarakat. Karenanya, dengan dimasukannya ketentuan hukum adat ke KUHP ini, maka tugas seorang hakim tak lagi mudah. Mereka harus mempelajari hukum adat yang eksis di Indonesia yang jumlahnya tak sedikit itu.

“Saya membayangkan setelah revisi KUHP ini disahkan, para hakim itu harus rajin belajar hukum adat, bukan main golf lagi,” sindir wanita yang saat ini menjabat sebagai Dirjen Hak Asasi Manusia Kemenkumham ini.

Sesepuh Hukum Pidana Indonesia Prof. J.E. Sahetapy berpendapat hukum adat itu memang cukup sulit untuk dijadikan acuan. Ia mengingatkan bahwa memasukan ketentuan hukum adat atau delik adat ke KUHP harus hati-hati. Pasalnya, hukum adat di Aceh, misalnya berbeda dengan hukum adat yang berlaku di Padang, Bugis atau Madura. “Bahkan hukum adat di Jawa apakah masih ada atau tidak, saya bingung juga,” tuturnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: