UU Penyiaran Larang Pemusatan Kepemilikan
Berita

UU Penyiaran Larang Pemusatan Kepemilikan

Sentralisasi kepemilikan media penyiaran dinilai mengingkari amanat UUD 1945.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Sidang lanjutan pengujian UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: Sgp
Sidang lanjutan pengujian UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: Sgp

Mantan Ketua Pansus DPR RUU Penyiaran Paulus Widiyanto berpendapat Pasal 18 ayat (1) UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang mengatur pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum dibatasi, harus ditafsirkan tidak boleh terjadi pemusatan kepemilikan.

“Sesuai pembahasan dalam rapat kerja Pansus, Pasal 18 ayat (1) harus dibaca tidak boleh terjadi pemusatan kepemilikan oleh satu orang atau satu badan hukum tertentu baik di satu wilayah siaran maupun beberapa wilayah siaran,” kata Paulus saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU Penyiaran di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (5/4). Paulus dihadirkan pemohon.

Paulus mengatakan norma yang terkandung dalam Pasal 18 ayat (1) itu ditujukan untuk menjaga keseimbangan penyebaran informasi dengan tetap memberikan kesempatan bagi berkembangnya industri penyiaran di Indonesia. “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan berbagai izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) dilakukan melalui mekanisme pengambilalihan saham-saham perusahaan penyiaran yang lain,” katanya.

Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang mengatur larangan pemindahtanganan IPP kepada pihak lain dimaksudkan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua perusahaan penyiaran untuk berusaha dalam bidang penyiaran. “Ini harus melalui mekanisme yang bersih, terbuka, transparan, bebas campur kepentingan sosial, ekonomi, dan politik,” kata Paulus.

Ahli lain, Prof Ichlasul Amal, berpendapat sentralisasi atau pemusatan kepemilikan media khususnya media penyiaran melanggar UU Penyiaran sekaligus mengingkari amanat UUD 1945.

Menurut Ichlasul, UU Penyiaran juga mengamanatkan agar televisi lokal di daerah, tidak dikuasai televisi nasional yang berada di Jakarta. Tetapi, faktanya televisi lokal/daerah dikuasai stasiun televisi nasional yang berada di Jakarta. “Ini penafsiran yang salah dan bertentangan dengan UUD 1945,” tegas mantan Rektor UGM ini.

Untuk diketahui, permohonan ini diajukan Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) yang menguji konstitusionalitas Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang mengatur penguasaan dan larangan pemindahtanganan IPP.

Para pemohon merasa dirugikan lantaran pasal itu kerap ditafsirkan sepihak oleh badan hukum atau perorangan yang mengakibatkan pemusatan kepemilikan stasiun televisi atau radio di tangan segelintir pengusaha. Hal ini mengancam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, adanya dominasi pembentukan opini, monopoli informasi.

Pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran diduga terjadi pada kasus pembelian dan pengalihan IPP PT Visi Media Asia Tbk yang menguasai PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV) dan PT Lativi Media Karya (TVOne) pada Februari 2011. Selain itu, Group MNC menguasai tiga stasiun televisi yaitu RCTI, Global TV dan MNC, lalu Group EMTEK dengan Indosiar dan SCTV.

Karena itu, para pemohon meminta MK menyatakan tafsir sepihak Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran inkonstitusional. Pasal 18 ayat (1) harus ditafsirkan, “satu badan hukum apapun di tingkat manapun (induk/anak perusahaan) atau perseorangan, tidak boleh memiliki lebih dari satu IPP jasa penyiaran televisi yang berlokasi di satu provinsi."

Pemohon berpendapat Pasal 34 ayat (4) harus ditafsirkan bahwa segala bentuk pemindahtanganan IPP dan penguasaan/kepemilikan lembaga penyiaran dengan cara dijual/dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain di tingkat manapun bertentangan dengan UU Penyiaran.

Tags:

Berita Terkait