Calon Tak Paham Gugatan Class Action
Seleksi CHA:

Calon Tak Paham Gugatan Class Action

Salah seorang calon hakim agung seorang pelukis.

Oleh:
Agus sahbani
Bacaan 2 Menit
Suasana calon hakim agung dalam wawancara terbuka di kantor KY. Foto: Sgp
Suasana calon hakim agung dalam wawancara terbuka di kantor KY. Foto: Sgp

Seorang calon hakim agung diketahui tidak memahami pengertian gugatan class action (gugatan kelompok masyarakat). Adalah Muhammad Daming Sunusi yang mendapati pertanyaan soal pemahaman gugatan class action. Fakta ini terungkap saat Daming menjawab pertanyaan yang dilontarkan salah satu anggota panelis, Soeharto (mantan hakim agung), dalam wawancara terbuka seleksi calon hakim agung  di hari ketiga yang digelar di Kantor Komisi Yudisial (KY), Rabu (25/4).

“Apa yang Saudara pahami tentang gugatan class action?” tanya Soeharto. Mendapat pertanyaan itu,Daming terdiam. Soeharto mencontohkan kasus gugatan class action yang diajukan kelompok tukang becak di Garut yang mengajukan permohonan ke pengadilan.

“Yang kemarin belum lama ini banyak tukang becak di Garut yang menggugat ke pengadilan dan banyak kasus lain dimana kelompok masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat (LSM)  menggugat ke pengadilan karena merasa kepentingannya dirugikan, ini sudah banyak di koran-koran. Mungkin Saudara lupa ya?”

Demikian pula saat ditanya dasar hukum gugatan class action ini, Daming juga tak bisa menjawab. “Eehm, saya lupa Pak karena memang saya tak pernah menangani kasus-kasus class action,” dalih Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin ini.

“Gugatan class action ini diatur dalam Perma No 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dasar hukum kewenangan class action ini ada di UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, dan UU Perlindungan Konsumen,” ujar Soeharto mengingatkan.

Tidak hanya itu, Daming juga dinilai tak memahami dasar hukum, kewenangan pengadilan dalam sengketa kepengurusan partai, dan pembubaran partai. Hal itu diketahui saat pertanyaan ini dilontarkan panelis lainnya, Prof Abdul Mukhtie Fadjar (mantan Hakim Konstitusi).

“Saudara tahu kewenangan pembubaran partai politik ada sama siapa?” tanya Mukhtie. Lagi-lagi calon yang pernah gagal di DPR ini kembali terdiam. Kemudian Mukhtie bertanya lagi, “Kalau kewenangan untuk memutus sengketa kepengurusan partai politik ada sama siapa?” Daming menjawab bahwa sengketa kepengurusan partai diselesaikan di internal partai tersebut.

Mendengar jawaban itu, Mukhtie meluruskan bahwa kewenangan pembubaran partai politik merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara, sengketa kepengurusan partai merupakan kewenangan pengadilan umum. “Saudara bisa melihat ini di UU Partai Politik,” ujarnya mengingatkan.

Daming juga tak mampu menjawab pengertian parate eksekusi (eksekusi atas kekuasaan sendiri tanpa lewat pengadilan, red) saat panelis lainnya, Ibrahim mempertanyakan soal ini. “Sita persamaan,” jawab mantan Direktur Perdata MA ini. “Saya kira soal ini menjadi catatan buat Bapak saja,” kata Ibrahim.

Daming mengaku mendapat penghasilan sebagai ketua pengadilan tinggi sebesar Rp30 juta (take home pay). Rinciannya, remunerasi sebesar Rp9 juta, tunjangan sebagai Ketua Pengadilan Tipikor Banjarmasin sebesar Rp16 juta, dan gaji pokok.

Pelukis
Sementara calon lainnya, AA Anom Hartanindita meminta panelis memperhatikan dan meloloskan calon hakim agung yang concern terhadap penerapan hukum adat Indonesia dalam memutus perkara, seperti adat Papua, Aceh, Bali, dan daerah lainnya. Hal itu dilontarkan ketika Anom ditanya tentang motivasi jika terpilih menjadi hakim agung.

“Jika terpilih, saya akan menjunjung tinggi hukum adat yang hidup di masyarakat setempat, termasuk membuat tulisan/artikel yang bersifat analisis tentang hukum adat Indonesia,” janjinya.

Dalam kesempatan ini, Anom mengaku bahwa dirinya adalah seorang pelukis yang memiliki banyak penggemarnya. “Waktu saya bertugas di Lampung, pernah empat lukisan saya laku terjual sebesar Rp50 juta waktu ikut pameran, makanya hasil setiap penjualan lukisan itu saya belikan rumah,” akunya.

Ia mengaku tak berani menjual lukisannya kepada pihak yang berperkara, meski dihargai tinggi. “Saya menjual lukisan kalau ada pameran saja, kalau yang ada hubungannya dengan perkara saya tidak berani,” ujar mantan Ketua Pengadilan Negeri Cirebon ini.

Mengetahui Anom juga menggeluti seni lukis, Suparman Marzuki mempertanyakan apakah si calon salah jalan memilih karier sebagai hakim. “Jangan-jangan Saudara salah jalan, kenapa tidak menjadi pelukis saja,” tanya Marzuki sambil tersenyum. “Tidak Pak, saya pelukis karena memang sudah gemar melukis sejak SMA, apalagi (alm) Bismar Siregar juga pelukis,” dalihnya.

Di hari ketiga ini, selain Daming dan Anom, Tim Panelis yang terdiri tujuh Komisioner KY bersama Soeharto (mantan hakim agung) dan Abdul Mukhtie Fajar (mantan Hakim Konstitusi) juga mewawancarai James Butar-Butar (Hakim Tinggi PT Kalimantan Timur), I Wayan Sugawa (Hakim Tinggi PT Denpasar), dan Hartono Abdul Murad (Hakim Tinggi PT Denpasar).

Tags:

Berita Terkait