Pasang Surut Hubungan Advokat-Klien
Fokus

Pasang Surut Hubungan Advokat-Klien

Perjanjian menjadi kunci untuk mencegah perselisihan advokat dengan klien. Pembelaan yang berlebihan bisa menjerumuskan advokat ke dalam kasus hukum.

Oleh:
mys/m-13
Bacaan 2 Menit
Pasang Surut Hubungan Advokat-Klien
Hukumonline

Kepercayaan adalah kunci utama dalam hubungan advokat-klien. Pembelaan asal-asalan bisa menyulut kekesalan klien. Sebaliknya, pembelaan yang berlebihan terhadap klien bisa menyulut amarah pihak lain. Apalagi jika advokat mengeluarkan pernyataan yang menyinggung perasaan pihak ketiga.

Kasus terbaru menimpa Virza Roy Hizzal. Advokat muda lulusan pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia ini dihukum majelis kehormatan Dewan Kehormatan Daerah (DKD) Jakarta Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Dinilai melanggar Pasal 3 huruf h Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), Virza dijatuh sanksi peringatan keras dan membayar biaya perkara 3,5 juta rupiah.

Kasus yang membuat Virza terseret perkara pelanggaran kode etik tak lepas dari pembelaan klien. Ia membela secara cuma-cuma dua orang pekerja yang diberhentikan dari PT Jurnalindo Aksara Grafika. Salah satu jalan yang ditempuh Virza adalah berupaya mempublikasikan perkara kliennya ke media, dengan cara mengirim rilis. Salah satu media yang mendapat kiriman itu adalah Bisnis Indonesia, media cetak harian yang diterbitkan PT Jurnalindo Aksara Grafika. Dalam rilis ada kalimat ‘penindas dan penghisap pekerja’.

Kalimat itulah yang diprotes Jurnalindo. Perusahaan meminta agar Virza menarik rilis. Upaya mendamaikan kasus ini tak berhasil. Melalui penasihat hukum, Jurnalindo akhirnya melaporkan Virza ke Dewan Kehormatan PERADI hingga turun putusan April lalu.

Kolega Virza mengecam putusan DKD Jakarta itu. Sebab, Virza sedang memperjuangkan kepentingan kliennya.  Apalagi pembelaan dilakukan secara probono. “Ingat, tujuan Virza adalah mulia yaitu memperjuangkan hak buruh,” tutur Eddy Wesley Parulian Sibarani, Ketua Organisasi Pemuda Pencari Keadilan.

Virza bukan satu-satunya advokat yang dihukum karena tindakan tertentu saat membela klien. Masih ingat kasus Nyoman Suryadarma kan? Advokat asal Bali ini pernah dihukum DKD Denpasar skorsing enam bulan dua Februari 2010 silam. Penyebabnya: sang advokat mengarahkan saksi untuk berbohong dalam kasus pembunuhan wartawan Bali. Nyoman Susrama, terdakwa dalam kasus ini, adalah klien Nyoman Suryadarma. Tindakan menyuruh saksi berbohong dianggap melanggar Undang-Undang dan kode etik advokat. Suryadarma memang membantah tuduhan mengarahkan saksi.

Undang-Undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat menentukan jasa hukum yang diberikan advokat meliputi konsultasi hukum, bantuan hukum, dan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Advokat juga wajib menjaga kerahasiaan kliennya. Hubungan saling percaya menjadi fondasi hubungan advokat-klien.

Jika kepercayaan hilang
Namun hubungan advokat-klien tak selamanya harmonis. Adakalanya kepercayaan berubah menjadi sengketa yang sulit diselesaikan melalui komunikasi biasa.

Penyebabnya banyak. Yang paling umum terjadi karena masalah honorarium (fee) dan ketidaksepahaman advokat-klien mengenai langkah hukum tertentu yang harus dilakukan. Kalau advokat menyarankan langkah tertentu tapi klien tak setuju, tingkat kepercayaan bisa menipis. Kalau kepercayaan terus makin terkikis, pemberian kuasa bisa putus baik karena inisiatif klien, maupun karena advokat mundur.

Kasus mundurnya Ferry Amahorseya sebagai anggota tim kuasa hukum Wafid Muharram bisa dijadikan contoh. Ferry mundur gara-gara tidak sepaham lagi dengan kliennya. “Terdapat ketidaksesuaian paham dan pemikiran tentang arah kebijakan pembelaan yang harus saya lakukan dengan yang diinginkan terdakwa,” kata Ferry di sidang Pengadilan Tipikor Jakarta 12 Oktober tahun lalu, saat mengumumkan pengunduran dirinya.

Terdakwa dimaksud tak lain adalah Wafid Muharram. Ferry ingin Nazaruddin dihadirkan sebagai saksi ke dalam sidang. Klien berpendapat sebaliknya. Perbedaan pendapat itulah yang akhirnya buntu, dan Ferry memilih mundur dari tim kuasa hukum.

Gara-gara honorarium
Dalam hubungan advokat-klien, honorarium menjadi sesuatu yang penting. Honorarium adalah hak advokat yang wajib dibayarkan klien sesuai kesepakatan. Mekanisme pembayaran dan persyaratan lainnya juga didasarkan pada kesepakatan. “Itu kesepakatan antara lawyer dan kliennya,” kata Ari Yusuf Amir, advokat yang menulis buku Strategi Bisnis Jasa Advokat (2008).

Jika honorarium tidak dibayar sesuai kesepakatan, advokat biasanya melayangkan gugatan terhadap klien. Iwan Kurniawan, seorang pengacara di Kepulauan Riau, sempat mendaftarkan gugatan terhadap kliennya di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang, Oktober 2010 silam. Iwan menggugat setelah lima orang kliennya memutuskan secara sepihak kuasa hukum setelah kasus perdata tanah yang diurusnya selesai. Dalam perjanjian sebelumnya telah disepakati Iwan dan tim kuasa hukum akan mendapat bagian 40 persen dari total luas tanah yang dimenangkan. Namun kedua belah pihak akhirnya sepakat berdamai.

Jika klien tetap tidak membayar honorarium advokat, si advokat bisa melayangkan permohonan pailit terhadap klien. Hukumonline mencatat langkah ini pernah ditempuh kantor hukum Adiprasetyo & Partners terhadap PT Jakarta Monorail, pada 2007 silam. Kedua pihak akhirnya memang berdamai.

Langkah advokat menggugat klien karena persoalan honorarium dapat dibenarkan, setidaknya dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung No. 640 K/Pdt/2011. Majelis hakim agung H. Atja Sondjaja, Prof. HM Hakim Nyak Pha, dan Prof. Takdir Rahmadi, mengabulkan gugatan Gani Djemat & Partners terhadap Billy Sindoro. Billy Sindoro pernah memberikan kuasa hukum kepada advokat dari kantor hukum tersebut saat Billy menghadapi perkara di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menunjuk surat kuasa 1 Desember 2008 yang memuat ketentuan ‘kekuasaan ini diberikan dengan pembayaran’. Menurut Mahkamah, tergugat belum melaksanakan pembayaran sehingga disebut wanprestasi. Billy dihukum membayar fee advokat sebesar Rp500 juta.

Kuncinya: Perjanjian
Pertimbangan hukum Mahkamah Agung merujuk pada perjanjian yang dibuat advokat-klien. Advokat Maqdir Ismail menjelaskan lazim terjadi hubungan awal advokat dan klien baru sebatas surat kuasa. Setelah itu, baru dibahas perjanjian mengenai honorarium. Tawaran honorarium sering datang dari advokat. “Legal fee itulah yang dibuat semacam surat penawaran,” kata Maqdir. Jika klien setuju, kedua belah pihak akan tanda tangan.

Perjanjian advokat dan klien sangat penting untuk mencegah potensi ribut di kemudian hari. Apalagi, kata Artaji, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, kedudukan advokat dan klien pada dasarnya tidak seimbang. Klien lemah dalam posisi pemahaman hukum. Tetapi melalui perjanjian, kedua belah pihak menjadi seimbang. Melalui perjanjian, kata Artaji, hak dan kewajiban para pihak akan diketahui. “Sehingga klien dan lawyer terlindungi,” ujarnya.

Pendapat senada disampaikan advokat Ari Yusuf Amir. Sejak awal, advokat dan klien harus membicarakan hak dan kewajiban masing-masing, lalu menuangkannya ke dalam perjanjian. Kalaupun ada proses tawar menawar dalam penentuan fee, menurut Ari, itu adalah sesuatu yang biasa. Penentuan besarnya tarif ditentukan banyak faktor. Masing-masing advokat atau kantor hukum punya kriteria tersendiri.

Agar tidak timbul masalah di kemudian hari, Ari menyarankan advokat dan klien menuangkan isi perjanjian lebih detil. Jangan hanya fokus memperjanjikan honorarium, karena ada hal lain yang bisa menimbulkan hubungan advokat-klien memburuk. Masalah bisa datang dari klien, bisa juga dari advokat. “Perjanjian itu tidak hanya menyebutkan besaran fee, tetapi juga kewajiban-kewajiban,” saran advokat yang pernah menangangi kasus Antasari Azhar ini.

Tags: