Perjuangan Seorang Dokter Melegalkan Euthanasia
Resensi

Perjuangan Seorang Dokter Melegalkan Euthanasia

Film ini hanya menggambarkan perjuangan seorang dokter di jalur hukum, bukan mempengaruhi penonton tentang benar atau tidaknya euthanasia.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Foto: en.wikipedia.org
Foto: en.wikipedia.org

“Pelayanan medis atau kejahatan?” Itulah inti pertanyaan yang terus muncul, tersirat maupun tersurat, dalam film berdurasi 134 menit arahan sutradara kondang Barry Levinson berjudul “You Don’t Know Jack”. Sesuai judulnya, kisah film yang resmi dirilis tahun 2010 ini memang terfokus pada satu sosok, yakni Jack. Nama lengkapnya Jack Kevorkian.

Dimainkan secara sempurna oleh aktor watak Al Pacino, Jack Kevorkian adalah tokoh nyata. Jack yang lahir di Pontiac, Michigan pada 26 Mei 1928 dikenal sebagai sosok yang eksentrik. Pria keturunan Armenia-Amerika Serikat ini adalah seorang pensiunan dokter bidang Patologi sekaligus seniman yang dicatat sejarah sebagai salah seorang pejuang legalisasi euthanasia.

Dikutip dari situs en.wikipedia.org, euthanasia adalah kata yang berakar dari Bahasa Yunani yang artinya “kematian yang baik”. Definisi umum dari euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seseorang dengan tujuan melepaskan orang tersebut dari penderitaan rasa sakit.

Di dalam film yang diangkat dari buku "Between the Dying and the Dead: Dr Jack Kevorkian's Life And The Battle To Legalize Euthanasia" karya Neal Nicol dan Harry Wylie, istilah euthanasia sebenarnya sangat jarang muncul. Dialog dalam film ini lebih sering menggunakan istilah “assisting suicide” atau membantu orang bunuh diri.  

Jack yang hidup sebatang kara karena tidak menikah hingga akhir hayatnya, awalnya berjuang hanya dengan bantuan adik perempuannya bernama Margo Janus (Brenda Vaccaro) dan seorang sahabat yang juga penjual alat-alat medis, Neal Nicol (John Goodman). Namun, belakangan, bergabung pula seorang aktivis Hemlock Society –organisasi yang memperjuangkan hak untuk mati- Janet Good (Susan Sarandon), dan pengacara Geoffrey Fieger (Danny Huston).

Di dalam film ini, Jack digambarkan sebagai sosok dokter tua yang bukan sekadar ‘pejuang gagasan’ legalisasi euthanasia. Dia juga membuka praktik kedokteran yang secara khusus membantu orang untuk mati. Dia bahkan membuat kartu nama khusus untuk itu dengan tulisan “Special Death Counselling…by appointment only”.

Cara kerja Jack digambarkan secara terperinci dalam film ini. Mulai dari tahap wawancara, dimana pasien mengungkapkan keinginannya untuk mati, hingga penggunaan gas Pottasium Chloride yang dialirkan ke pasien untuk menghentikan detak jantung. Tahap wawancara menjadi fase penting bagi Jack dalam memutuskan apakah akan membantu si pasien bunuh diri atau tidak. Beberapa kali, Jack menolak dengan alasan si pasien tidak layak dibantu karena tidak mengidap penyakit serius.

Sesuai namanya “assisting suicide”, peran Jack saat berpraktik hanya memfasilitasi alias membantu seseorang yang ingin mengakhiri hidupnya. Keputusan untuk mati atau tidak sepenuhnya berada di tangan si pasien. Untuk menekankan hak si pasien, Jack menyediakan alat semacam penjepit kertas di selang gas. Jack mempersilakan si pasien mencabut penjepit kertas tersebut sebagai pertanda dia siap mati.

Menariknya, dalam film ini, beberapa kali Jack digambarkan harus berhadapan dengan keterbatasan sarana saat berpraktik. Ketika menangani pasien pertama, misalnya, Jack terpaksa menyulap mobil vannya sebagai klinik dadakan karena Janet Good yang awalnya bersedia, menolak rumahnya dijadikan klinik. Di saat arus protes masyarakat dan larangan pemerintah mengalir deras, Jack bahkan terpaksa menghemat penggunaan gas Pottasium Chloride karena dia kesulitan mendapatkan gas tersebut.

Juga dipaparkan secara terperinci dalam film ini adalah perjuangan Jack untuk melegalkan euthanasia. Sedari awal terpikir untuk memperjuangkan legalisasi euthanasia, Jack sadar bahwa langkahnya tidak akan mudah. Jauh-jauh hari, Jack bahkan sudah memprediksi dirinya akan mendapat protes keras dari kalangan aktivis yang mengusung nilai-nilai moral dan agama. Dia juga sudah menduga bahwa hukum akan menghadang.

Terbukti, pada saat dia merampungkan tugas pertamanya membantu Janet Adkins, seorang penderita Alzheimer, Jack langsung diciduk. Namun, dia tidak lama mendekam di sel tahanan. Berkat prinsip “nullum delictum, nulla puna sine praevia lege punali”, bahwa seseorang tak dapat dihukum jika tidak ada hukumnya, Jack tak tersentuh oleh hukum. Ketika itu, hukum negara bagian Michigan memang belum mengatur assisting suicide sebagai kejahatan.

Walaupun terus menuai protes, Jack mulai leluasa berpraktik assisting suicide. Dia bahkan mulai menjadi selebritas. Wajahnya tampil di sampul depan majalah beken Time, tawaran wawancara dari sejumlah acara talkshow juga mengalir deras. Publik mulai memberi julukan “Dr Death” kepada Jack. Sebagian menyandingkan Jack dengan Dr Frankenstein, tokoh cerita yang menciptakan monster.

Namun, ‘keleluasaan’ itu berakhir seiring dengan tindakan Gubernur Michigan menerbitkan peraturan yang menyatakan assisting suicide sebagai delik pembunuhan tingkat empat. Izin praktik Jack dicabut, dan dia kembali harus berhadapan dengan hukum. Dengan tubuhnya yang renta, Jack terus melawan seorang diri karena dia memecat Geoffrey Fieger, sang pengacara yang dinilai Jack tidak lagi sejalan dengan misinya.

Lazimnya sebuah resensi, tulisan ini tentunya tidak akan mengumbar akhir cerita film “You Don’t Know Jack”. Jadi, untuk menjawab rasa penasaran anda, segera buru DVD “You Don’t Know Jack” atau langganan tv kabel karena film ini eksklusif ditayangkan di salah satu kanal film layar lebar.

Salah satu yang patut dipuji dari film ini adalah penonton tidak dicekoki tentang apakah euthanasia itu benar atau tidak, legal atau ilegal. Film ini sekadar menyajikan rekaman kehidupan seorang dokter memperjuangkan keyakinannya melalui jalur hukum. Dan, ini menjadi bagian yang paling menarik, Jack Kevorkian bukan seorang sarjana hukum, apalagi pengacara.

Jadi, selamat menonton! 

Tags: