Sejatinya, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menjamin ketersediaan pangan serta menjamin keamanan dan kehalalan produk pangan di dalam negeri. Berbagai cara telah dilakukan mulai dari membuat regulasi hingga turun ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap produk makanan yang beredar di pasar domestik Indonesia.
Meski demikian, tetap saja banyak ditemukan produk tidak halal dan tidak aman di pasar domestik. Hal ini membuktikan pemerintah kurang intensif dalam mengawasi pangan di Indonesia. “Pemerintah kurang intensif dalam mengawasi produk pangan di dalam negeri,” kata anggota LP3E Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Anas M. Fauzi, dalam konferensi pers di Kadin, Jakarta, Selasa (5/6).
Pemerintah memang telah mengeluarkan regulasi terkait dengan perlindungan konsumen, yaitu UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun, kata Anas, regulasi tersebut tidak menjamin konsumen dari makanan yang tidak aman serta tidak halal. Ada juga UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang sekarang sedang direvisi dan RUU nya tengah dibahas oleh DPR.
“Regulasinya sudah memadai tetapi pemerintah harus lebih aktif lagi melakukan pemeriksaan ke pasar-pasar domestik,” ujarnya.
Selain itu, Anas meminta konsumen lebih cerdas untuk memilih serta membeli produk pangan yang akan dikonsumsi. Terutama memperhatikan produk impor yang masuk ke dalam negeri. Disamping itu, pemerintah harus memberikan pelatihan-pelatihan serta pendidikan kepada masyarakat selaku konsumen untuk mengenali produk yang baik dan tidak berbahaya untuk dikonsumsi.
Berdasarkan data dan fakta yang ditemukan, Anas mengatakan pada 2006 sebesar 49,43 persen makanan jajanan untuk anak sekolah tidak memenuhi kemanan pangan. Pada minuman mengandung zat rhodamin, sakarin, siklamat, serta cemaran mikroba sedangkan pada makanan khususnya bakso dan kudapan rata-rata mengandung formalin, boraks dan cemaran mikroba.
Untuk peralatan makan melamin tersedia produk yang terbuat dari melamin-formaldehid dan urea-formaldehid yang tidak tahan panas, lebih mudah rusak dan melepaskan formaldehid. Anas menjelaskan, ini merupakan hasil pengujian 30 hingga 62 sampel peralatan makan yang terbukti melepaskan formaldehid. “Memang, produk-produk ini dijual dengan harga yang lebih murah,” kata Anas.