UU Rusun Diprediksi Tak Dapat Diaplikasikan
Utama

UU Rusun Diprediksi Tak Dapat Diaplikasikan

Obatnya hanya judicial review.

Oleh:
Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dikritik. Foto: Sgp
UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dikritik. Foto: Sgp

Lagi, UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) menuai kritikan. Kali ini, kritikan datang dari praktisi hukum yang fokus di bidang properti. UU Rusun dinilai sebagai kebijakan yang kebablasan, tidak applicable (tidak dapat dilaksanakan), dan tidak memenuhi asas-asas umum peraturan perundang-undangan yang baik.

Hal ini diutarakan oleh Erwin Kallo, pengacara yang kerap menangani properti. “Aturan-aturan yang tidak applicable bukanlah hukum tetapi sebuah puisi yang hanya dibuat untuk didengar,” ujarnya ketika tampil sebagai pembicara diskusi mengenai UU Rusun di Jakarta, Rabu (6/6).

Erwin menjelaskan UU Rusun ini seakan mencampuradukkan konsep kondominium dan strata title dalam kepemilikan rusun. Padahal, dua konsep ini berbeda secara konstruksi yuridis. Kondominium itu menyangkut kepemilikan bersama termasuk tanah, sedangkan strata title adalah kepemilikan bersama tak termasuk tanah. “Itu saja sudah beda, tapi malah dicampuradukkan,” ujarnya.

Selain itu, Erwin juga menilai bahwa ‘jenis kelamin’ UU Rusun ini semakin tidak jelas. Yakni, dengan menggabungkan konsep rusun untuk umum dan untuk komersial dalam satu aturan. “Ini sudah kebablasan. Pembuat undang-undang tak bisa memahami permasalahan rumah susun dengan baik,” ujarnya.

Erwin menambahkan banyak materi yang seharusnya tak diatur dalam undang-undang malah diatur dalam UU Rusun ini. Sedangkan, yang seharusnya diatur dan diperjelas seperti konsep sertifikat bersama justru tak diatur. “Ada masalah-masalah teknis yang tak semestinya diatur dalam undang-undang karena bukan materi muatan undang-undang, tetapi diatur dalam undang-undang ini,” jelasnya lagi.

Lebih lanjut, Erwin mencatat setidaknya ada delapan pasal dalam UU Rusun ini yang bermasalah. Yakni, Pasal 1 angka 1, Pasal 26 ayat (1) hingga ayat (3), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 68, Pasal 97, Pasal 105, dan Pasal 110. “Ada banyak sekali kesalahan-kesalahan elementer,” ujarnya.

Erwin mengatakan pemerintah mungkin bisa saja berdalih bahwa beberapa aturan akan diperjelas dalam Peraturan Pemerintah (PP). Namun, ia menilai persoalan tak akan selesai dengan hadirnya PP, karena persoalan besarnya justru ada pada UU Rusun ini. Apalagi, PP tak mungkin dibuat melebihi aturan UU.  “Menurut saya obatnya cuma satu, uji materi,” tegasnya.

Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gajah Mada (UGM) Maria Sumardjono menuturkan undang-undang ini memang baru saja disahkan, tetapi bukan berarti tak bisa diperbaiki. Ia mengakui memang ada beberapa hal yang bermasalah dan memerlukan perbaikan. Salah satu yang dikritik oleh Maria adalah konsep tanah bersama dalam UU Rusun ini.

Pasal 1 angka 4 berbunyi ‘Tanah bersama adalah sebidang tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin mendirikan bangunan’.

Maria menilai konsep ini bertentangan jauh dengan sistem hukum pertanahan yang ada di Indonesia. Pasalnya, bila merujuk ke UU Pokok Agraria, tanah bersama itu hanya bisa diterapkan di tanah hak, bukan tanah sewa. “Tanah bersama itu hanya mungkin di tanah hak. Kalau seperti ini, bisa rusak sistem hukum agraria,” ujarnya.

Namun, Maria menilai perlu dikaji ulang bila ada rencana ingin mengajukan uji materi. Ia mengatakan harus hati-hati dan mencermati secara seksama apakah ada ketentuan yang bertentangan dengan UUD 1945. “Saya berpendapat sebaiknya legislative review saja. Tapi, apakah DPR dan Pemerintah mau mengubah karena undang-undang ini baru saja disahkan,” ujarnya.

Konsolidasi Tanah
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Kapuslitbang) Badan Pertanahan Nasional Maharani justru menyambut baik UU Rusun ini. Ia memuji aturan konsolidasi tanah dalam UU Rusun ini. “Kami dari BPN ikut mensyukuri sekarang konsolidasi tanah diatur ke dalam undang-undang, sebelumnya tak ada. Padahal, di luar negeri, konsolidasi tanah itu harus diatur ke dalam undang-undang,” ujarnya.

Maharani menambahkan sosialisasi UU Rusun ini harus terus dilanjutkan. Ia membandingkan dengan Taiwan yang tak bosan-bosannya melakukan sosialisi terhadap UU Rusun mereka, bahkan hingga mencapai 100 kali. “Saya baru dua kali sosialisasi di Kebon Kacang soal konsolidasi tanah saja sudah diusir karena mereka tak setuju,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Maharani berharap anggaran sosialisasi harus benar-benar memadai. “Di Taiwan, lima persen biaya pembangunan itu digunakan untuk sosialisasi ke masyarakat,” pungkasnya. 

Tags: