Eksekusi Putusan MA, Jaksa Tak Dapat Dipidana
Berita

Eksekusi Putusan MA, Jaksa Tak Dapat Dipidana

Seorang pejabat yang melaksanakan undang-undang tidak dapat dituntut secara pidana. Pasal 333 KUHP dikenakan pada perampasan kemerdekaan yang tidak sah.

Oleh:
nov/rfq
Bacaan 2 Menit
Yusril Ihza Mahendra kuasa hukum Parlin Direktur Utama PT Satui Bara Tama. Foto: Sgp
Yusril Ihza Mahendra kuasa hukum Parlin Direktur Utama PT Satui Bara Tama. Foto: Sgp

Sejumlah pengacara dari kantor hukum Ihza & Ihza melaporkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Banjarmasin, Firdaus Dewilmar ke Bareskrim Mabes Polri. Laporan itu merujuk pada eksekusi terpidana kasus eksploitasi kawasan hutan di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Tumbu, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Parlin Riduansyah.

Parlin adalah Direktur Utama PT Satui Bara Tama (SBT). Mahkamah Agung (MA) telah menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Parlin atas putusan kasasi No. 1444K/Pid.Sus/2010 tanggal 8 Oktober 2010. Dalam putusan kasasi, Parlin dihukum tiga tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair 6 bulan kurungan.

Namun, dalam putusan PK, majelis tidak menyertakan perintah penahanan terhadap Parlin. Yusril Ihza Mahendra yang merupakan salah satu kuasa hukum Parlin menganggap putusan PK itu batal demi hukum karena tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP.

Dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, surat putusan pemidanaan harus memuat “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan itu, menurut Yusril akan batal demi hukum, sehingga tidak dapat dieksekusi.

Oleh karenanya, Yusril yang diwakili timnya dari kantor hukum Ihza & Ihza, melaporkan Kajari Banjarmasin, Firdaus Dewilmar ke Bareskrim Maber Polri. Firdaus dilaporkan karena telah memerintahkan tim jaksa eksekutor untuk mengeksekusi putusan pengadilan yang batal demi hukum.

Kajari Banjarmasin dinilai telah melakukan perampasan kemerdekaan terhadap kliennya. "Kajari Banjarmasin memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum, maka kami melaporkan dengan laporan Pasal 333 KUHP, karena merampas kemerdekaan seseorang," kata Yusril dalam rilisnya, Rabu (6/6).

Mantan Menteri Kehakiman dan HAM ini mengatakan, Kajari telah memerintahkan tim jaksa eksekutor untuk mendatangi kediaman Parlin, meski surat panggilan eksekusi kedua dan ketiga tidak pernah diterima. Surat panggilan eksekusi pertama diterima tanggal 28 Mei 2012.

Surat dengan No.B-1201/Q.3.10/Euh.3/05/2012 itu berisikan pelaksanaan putusan MA RI No.157 PK/PID.SUS/2011 tanggal 16 September 2011 jo Putusan Mahkamah Agung RI No.1444 K/PID.SUS/2010 tanggal 08 Oktober 2010. Padahal, putusan MA itu dianggap Yusril tidak memenuhi syarat formal pemidanaan.

Atas laporan itu, Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan pelaksanaan putusan tidak masalah sepanjang sesuai dengan amar putusan hakim. Jaksa hanya melaksanakan perintah undang-undang. “Kalau ternyata putusan hakim ada yang menilai bertentangan dengan KUHAP, harusnya yang digugat bukan jaksa selaku eksekutor. Tapi, dilakukan upaya hukum atas putusan hakim itu,” ujarnya.

Darmono berpendapat putusan PK tersebut tetap dapat dieksekusi, sepanjang dalam putusan pengadilan sebelumnya dan pertimbangan putusan MA telah menyebutkan adanya putusan pemidaan bagi terdakwa. Dia meminta putusan PK tidak dipahami sepotong-sepotong. Putusan PK itu harus dibaca lengkap, mulai dari putusan pengadilan negeri, putusan pengadilan tinggi, sampai di tingkat MA.

Senada, juru bicara MA Djoko Sarwoko juga menegaskan bahwa putusan MA yang tidak mencantumkan perintah penahanan tidak batal demi hukum. Menurutnya, Pasal 197 KUHAP harus diartikan secara kontekstual karena berhubungan dengan tugas penuntut umum sebagai eksekutor putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Lebih lanjut, Djoko menjelaskan penuntut umum wajib melaksanakan putusan hakim yang telah inkracht. Sementara, Pasal 333 KUHP itu dikenakan kepada pihak yang melakukan perampasan kemerdekaan secara tidak sah. Pasal itu tidak berlaku jaksa eksekutor yang melaksanakan putusan hakim.

“Pasal 333 KUHP itu untuk penculikan atau merampas kemerdekaan manusia secara tidak sah, sedangkan JPU merampas kemerdekaan orang atas dasar putusan yang berkekuatan hukum tetap. JPU dalam kapasitasnya sebagai eksekutor melaksanakan tugas negara,” tuturnya kepada hukumonline.

Yakin tidak diproses
Yusril menganggap eksekusi yang dilakukan terhadap kliennya melanggar hukum dan tidak sejalan dengan upaya Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Marwan Effendy. Jamwas telah membuat usulan kepada Jaksa Agung untuk membuat surat edaran agar Kejaksaan tidak mengeksekusi putusan yang batal demi hukum.

Langkah Yusril juga diakuinya mendapat dukungan dari pakar hukum pidana Yahya Harahap. Yahya bahkan berpendapat surat panggilan eksekusi dari jaksa penuntut umum dapat dijadikan dasar untuk menempuh jalur Pasal 90 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Selain itu, Yusril mengatakan hasil dari Rapat Dengar Pendapat dengan Kejaksaan Agung, Komisi III DPR telah mendesak para Jaksa Agung Muda untuk memperhatikan tata cara dan batas waktu pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 197 KUHAP.

Akan tetapi, terkait pelaporan Yusril, Jamwas Marwan Effendy tidak sependapat. “Dasar melaporkan itu apa sudah benar? Coba cerna lagi Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Apa logis putusan MA memuat amar perintah ditahan terhadap putusannya yang menghukum terpidana,” tukasnya.

Kemudian, Marwan menjelaskan, sebagai seorang pejabat yang melaksanakan undang-undang, jaksa tidak dapat dituntut secara pidana. Jaksa melakukan eksekusi atas perintah Pasal 270 KUHAP. Lebih dari itu, seorang jaksa juga tidak dapat diperiksa dalam perkara tindak pidana umum kalau tidak ada izin dari Jaksa Agung.

“Jadi, menurut saya pasti kepolisian tidak akan memproses atau tidak akan menindaklanjuti laporan itu,” tandasnya.

Tags: