Granat Tak Hanya Gugat Keppres Grasi Corby
Utama

Granat Tak Hanya Gugat Keppres Grasi Corby

Sejumlah pengacara kondang pun turut menjadi kuasa hukum penggugat.

Oleh:
Leo Wisnu Susapto/Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Ketua DPP Granat, Hendry Yosodiningrat (kanan) bersama Yusril Ihza Mahendra (kiri) di PTUN. Foto: Sgp
Ketua DPP Granat, Hendry Yosodiningrat (kanan) bersama Yusril Ihza Mahendra (kiri) di PTUN. Foto: Sgp

Menjelang jam kerja di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta berakhir, gugatan terhadap Keputusan Presiden (Keppres) Susilo Bambang Yudhoyono tentang pemberian grasi untuk terpidana narkotika didaftarkan. Keadaan PTUN, Kamis (7/6) sore, yang biasanya sepi, sontak berubah menjadi ramai karena kedatangan beberapa anggota Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) serta tim advokat.

Pada surat gugatan, Granat memberikan kuasa pada sejumlah pengacara kondang, yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra. Selain Yusril, pengacara senior lain yang tergabung dalam tim advokasi Granat adalah Maqdir Ismail dan Luhut MP Pangaribuan. Namun keduanya tak hadir pada kesempatan tersebut.

Rombongan Granat dipimpin langsung oleh Ketua DPP, Hendry Yosodiningrat, yang juga seorang pengacara. Serta didampingi mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Fahmi Idris.

Tak hanya menggugat Keppres No. 22/G Tahun 2012 tentang pemberian grasi pada Schapelle Leight Corby. Keppres No. 23/G Tahun 2012 tentang pemberian grasi pada Peter Achim Franz Grobmann, warga negara Jerman juga digugat. Kedua Keppres pemberian grasi pada terpidana narkotika itu ditandatangani SBY pada 15 Mei 2012.

Berkas gugatan menguraikan, penggugat menilai Keppres bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, seperti disebutkan Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN. Tak mengemukakan alasan jelas, dasar pemikiran, dan pertimbangan memberikan grasi kepada pemohon. “Sekalipun hal itu wewenang memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan MA sebagaimana diatur Pasal 14 UUD 1945,” urai Yusril.

Pemberian grasi pada kedua terpidana dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain. Penggugat menilai tindak pidana narkotika menjadi kejahatan yang mengancam generasi. Ancaman itu dijawab dengan membuat badan khusus guna menangkal dan menanggulangi seperti diatur UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ditambah dengan peningkatan ancaman hukuman.

Tetapi, upaya pemerintah itu jauh dari berhasil. Sehingga pemberian grasi, apalagi tanpa mengemukakan alasan jelas, adalah tindakan Presiden yang tidak proporsional. Bahkan Presiden dinilai merendahkan komitmen dunia akan pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika seperti tertuang dalam Konvensi PBB tahun 1988 dan telah diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1997.

Alasan pemberian grasi karena HAM, dinilai penggugat tak tepat. Pasalnya, merujuk konsideran UU No. 5 Tahun 2010, tertulis grasi dapat diberikan oleh Presiden diantaranya untuk menegakkan HAM.

Penggugat menyatakan, putusan inkracht kedua terpidana tidak melampui batas maksimum penjatuhan pidana kejahatan peredaran gelap narkotika golongan I atau ganja. Pemberian grasi ini dinilai tak adil bagi warga negara Indonesia selaku terpidana kasus narkotika. “Sepanjang sejarah, Presiden baru memberikan grasi kepada terpidana kasus narkotika,” kata Yusril.

Karena itu, dalam petitum penggugat, majelis hakim PTUN yang menangani perkara ini mengabulkan permohonan penggugat seluruhnya. Menyatakan batal kedua Keppres dan memerintahkan presiden untuk mencabutnya.

Menurut Yusril, yang bakal menjadi perdebatan adalah, apakah Keppres ini masuk dalam kategori keputusan pejabat TUN. “Ini akan menjadi perdebatan panjang di pengadilan nanti.”

Yusril mengingatkan, setelah amandemen, maka dalam UUD 1945, Keppres bukan lagi keputusan Presiden sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai Kepala Negara. Pasalnya, kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara telah dihapus, dan menjadikan Keppres sebagai keputusan TUN.

Kedua Keppres adalah keputusan tertulis yang ditandatangani Presiden dan memuat penetapan (beschikking). Serta berlaku sejak dikeluarkan oleh pejabat yang membuatnya (einmalig) dan menjadi tindakan hukum pejabat tata usaha negara.

Menurut penggugat, Keppres ini bukanlah keputusan pejabat tata usaha negara yang dikecualikan karena dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP, atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat pidana. Hal itu seperti diatur dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004. Namun, penggugat menyatakan Keppres masuk dalam kategori tindakan hukum administrasi negara.

Keppres pemberian grasi menurut penggugat adalah keputusan bersifat konkret, individual, dan final, serta membawa akibat hukum. Seperti syarat agar suatu perkara dapat ditangani PTUN. Konkret dan individual, karena objek yang disebutkan dalam Keppres jelas menyebut nama Corby dan Grobmann. Bukan ditujukan pada umum.

Keppres, lanjut penggugat, menunjukkan bahwa keputusan bersifat penetapan (beschikking). Bukan Peraturan Presiden (Perpres), salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling) yang ditujukan dan mengikat semua orang seperti diatur Pasal 3 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Keppres juga final, karena tak lagi memerlukan persetujuan dari instansi lain. Mengingat, dalam UUD 1945, Presiden adalah penyelenggara pemerintahan tertinggi. Sehingga tidak ada jabatan (ambs) dalam hierarki pemerintahan melebihi jabatan Presiden sebagai ambsdrager.

Namun, ada yang unik dalam dokumen gugatan ini. Pasalnya, poin 10 pada halaman dari angka II, menyebutkan, secara politis penggugat merasa dirugikan dengan adanya Keputusan tergugat. Yaitu, timbulnya kekecewaan rakyat Provinsi Bengkulu yang telah mendukung dan memilih penggugat dalam Pemilihan Umum Gubernur dan Wagub Provinsi Bengkulu periode 2010-2015. Bagian ini jelas tidak berhubungan dengan materi gugatan TUN.

Anggota Komisi IX DPR Indra mendukung langkah Granat menggugat Keppres Grasi Corby. Indra berpendapat Keppres itu memang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Selain itu, menurut politisi PKS ini, Keppres Grasi Corby juga sejumlah peraturan perundang-undangan seperti UU No. 7 Tahun 1997, UU Narkotika, PP No. 28 Tahun 2006.

“Berdasarkan hal-hal tersebut, saya yakin gugatan atas grasi Corby punya peluang besar untuk menang atau dikabulkan oleh PTUN,” ujar Indra.

Tags: