Pemerintah Belum Cabut Ribuan Perda Bermasalah
Berita

Pemerintah Belum Cabut Ribuan Perda Bermasalah

Ribuan Perda bermasalah itu sebagian besar menyoalkan pelayanan perizinan usaha.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Persoalan perizinan usaha di Indonesia makan waktu lama dan biaya tinggi. Foto: ilustrasi (Sgp)
Persoalan perizinan usaha di Indonesia makan waktu lama dan biaya tinggi. Foto: ilustrasi (Sgp)

Pemerintah diminta mencabut ribuan Peraturan Daerah (Perda) bermasalah. Berdasarkan temuan Kementerian Keuangan pada 2009, dari 14 ribu Perda yang ada, terdapat lebih dari 4 ribu Perda bermasalah dan harus dicabut. Namun, Kemendagri hanya mencabut seribu delapan ratus Perda dari jumlah yang seharusnya direkomendasikan oleh Kemenkeu.


Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, mengatakan ada alasan tersendiri mengapa pemerintah belum mencabut ribuan Perda yang dinilai bermasalah tersebut. Salah satunya adalah adanya kepentingan dari pihak pemerintah terutama Kemendagri terhadap Perda bermasalah tersebut, sehingga apa yang telah direkomendasikan Kemenkeu tidak digubris. Akibatnya, kebijakan pusat tidak sejalan dengan praktik di daerah.


Dijelaskkan Robert, ribuan Perda yang dianggap bermasalah itu sebagian besar menyoalkan pelayanan perizinan usaha. Menurutnya, proses perizinan usaha di daerah harus mengalami proses yang panjang. Di Manado, misalnya. Di daerah tersebut, katanya, biaya perizinan usaha bisa mencapai 14 kali proses dan memakan biaya paling besar dibandingkan daerah lain di Indonesia, yakni mencapai 22 persen.


“Hal ini empat kali lebih besar daripada negara tetangga, yaitu Thailand,” ujarnya.


Robert menyayangkan munculnya kebijakan yang menyatakan bahwa pencabutan atas Perda bermasalah ini hanya bisa dilakukan oleh Presiden. Soalnya, hal itu menyebabkan terhentinya pencabutan-pencabutan Perda bermasalah baik yang lama dan yang baru terbit. Sayangnya, hingga saat ini ribuan Perda bermasalah tersebut belum dicabut oleh Presiden. Sehingga Perda-perda yang bermasalah pun semakin menumpuk tanpa ada tindak lanjut dari pihak yang berwenang untuk mencabutnya.


Hasilnya, pekerjaan Kemenkeu untuk menulai Perda yang terbit di seluruh Indonesia menjadi sia-sia karena tidak ditindaklanjuti. “Ada dua hal yang menghambat proses perizinan di Indonesia, birokrasi yang tidak efisien serta budaya korupsi,” tambahnya.


Senada dengan Robert, Operations Officer Investement Climate International Finance Coorporation (IFC), Sandra Pranoto, mengatakan persoalan perizinan usaha di Indonesia memakan waktu yang panjang dan biaya yang tinggi. Ia mencontohkan, biaya untuk mendaftarkan properti tanah dan bangunan harus mengeluarkan biaya sebesar sebelas persen dari jumlah keseluruhan nilai properti.


“Jika dibandingkan dengan 21 negara APEC, biaya perizinan usaha kita paling tinggi. Di 21 negara APEC biaya mendaftarkan properti hanya tiga persen,” katanya di acara yang sama.


Asisten Deputi Pelayanan Perekonomian Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Endy Fathoni, mengakui Indonesia perlu memperbaiki reformasi birokrasi. Meski pemerintah telah menetapkan Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA) dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), namun proses perizinan masih terkesan lamban.


“Saya sepakat pemerintah harus bisa melakukan pengurangan perizinan yang cukup rumit di Indonesia,” cetusnya.


Endy meyakini pengurangan beberapa perizinan yang berbelit-belit tidak akan mengurangi pendapatan daerah. Pasalnya, dengan pengurangan beberapa perizinan dapat meningkatkan minat investor. Hal itu terbuktidengan meningkatnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di beberapa daerah yang mengurangi perizinan seperti Yogyakarta. Secara tidak langsung, lanjut Endy, ini akan meningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Tags: