Erry Riyana Tak Rela Koruptor Dihukum Mati
Jeda

Erry Riyana Tak Rela Koruptor Dihukum Mati

Koruptor harus diganjar dengan sanksi sosial, agar menimbulkan efek malu.

Oleh:
rzk
Bacaan 2 Menit
Erry Riyana Hardjapamekas (berdiri). Foto: Sgp
Erry Riyana Hardjapamekas (berdiri). Foto: Sgp

Erry Riyana Hardjapamekas. Mantan Pimpinan KPK yang satu ini memang terkenal, khususnya di kalangan wartawan, senang berkelakar. Pertanyaan seserius apapun bisa disulap menjadi bahan bercandaan oleh pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, 5 September 1949 ini. Rabu lalu (4/7), Erry kembali ‘beraksi’.

Dalam sebuah acara kuliah umum mantan Komisioner Independent Commission Against Corruption -lembaga sejenis KPK di Hong Kong- Bertrand de Speville, Erry berkelakar tentang hukuman mati untuk koruptor. Topik ini bermula dari pertanyaan seorang hadirin. Duduk bersanding dengan Bertrand di depan, Erry menjawab pertanyaan itu dengan santai. “Saya termasuk orang yang tidak setuju koruptor dihukum mati,” ujarnya.

Anda yang mengikuti perdebatan klasik soal penerapan hukuman mati di Indonesia, dan tidak kenal sosok Erry Riyana Hardjapamekas, mungkin menduga lulusan Universitas Padjajaran ini akan mengemukakan jawaban serius. Alasan HAM, misalnya. Ya, kebanyakan pihak yang kontra dengan hukuman mati, orang Indonesia maupun non Indonesia, umumnya memang berpendapat hukuman mati bertentangan dengan HAM.

Namun, jawaban Erry mematahkan dugaan ataupun harapan anda. Dengan gaya bicaranya yang khas, Erry berkata, “Saya kurang setuju dengan hukuman mati, karena kalau dihukum mati, koruptor langsung mati, enak saja.” Pernyataan Erry langsung disambut gerr hadirin kuliah umum yang digelar di Paramadian Postgraduate School, Jakarta.

Menurut Erry, seorang koruptor yang telah terbukti secara hukum melakukan tindak pidana korupsi seharusnya layak diganjar dengan sanksi sosial. Misalnya, kata Erry, koruptor namanya dicantumkan dan dipublikasikan melalui Korupedia.

Yang disebut Erry adalah sebuah laman khusus di internet, www.korupedia.org, yang digagas para penggiat anti korupsi. Seperti yang dikatakan Erry, laman ini memang sengaja dibuat, selain untuk mendokumentasi upaya pemberantasan korupsi, juga untuk menimbulkan efek ‘malu’ bagi para koruptor.

“Karena sekarang meskipun sudah dihukum penjara, setelah bebas mereka bisa bersenang-senang, berpesta, atau bikin buku dengan judul Saya Dizhalimi,” kata Wakil Ketua KPK jilid I tersebut.

Aksi Erry berkelakar di acara kuliah umum itu tidak hanya menyangkut penerapan hukuman mati untuk koruptor. Di awal pemaparannya, Erry bertutur tentang pengalamannya membantu Afghanistan. Tahun lalu, di negeri yang terletak di kawasan Asia Tengah itu, Erry membantu mengembangkan program pemberantasan korupsi.

“Kurang lebih lima kali saya bolak balik ke Afghanistan, setiap pulang ada dua hal yang selalu bikin saya senang. Pertama, saya pulang dengan selamat. Kedua, Indonesia ternyata lebih baik dari Afghanistan soal pemberantasan korupsi,” tuturnya.

Merujuk ke Corruption Perception Index yang diluncurkan Transparency International tahun lalu, Indonesia memang berada di peringkat yang lebih baik dari Afghanistan. Indonesia nangkring di peringkat 100 dengan indeks 3,0, sedangkan Afghanistan di peringkat 180 dengan indeks 1,5.

Masih dalam acara yang sama, Erry juga berkelakar mengomentari kritikan Bertrand de Speville. Walaupun menganggap Bertrand sebagai ‘suhu dari segala suhu’ dalam hal pemberantasan korupsi, Erry tetap mengkritik ketika Bertrand menyebut KPK tebang pilih. Menurut Bertrand, KPK harus mengusut semua kasus korupsi yang dilaporkan ke lembaga anti rasuah itu. Tebang pilih, kata dia, akan menurunkan kepercayaan publik.

“KPK tidak tebang pilih, tetapi tebang matang, kami hanya menebang apa yang matang. Semua perkara memang kami telusuri, apa yang kami namakan pra penelaahan, tetapi kami tidak punya SP3 (penghentian penyidikan, red.), makanya polisi dan jaksa lebih berani,” kata Erry.

Tags: