Perlu Solusi Tepat Atasi Persoalan Outsourcing
Utama

Perlu Solusi Tepat Atasi Persoalan Outsourcing

Pemerintah harus melakukan pengawasan dan menetapkan standar regulasi di tingkat pusat dan daerah terkait dengan outsourcing.

Oleh:
fitri novia heriani
Bacaan 2 Menit
Kantor Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Foto: Sgp
Kantor Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Foto: Sgp

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menilai persoalan outsourcing di Indonesia membutuhkan alternatif solusi yang tepat. Solusi yang baik adalah solusi yang tidak merugikan kedua belah pihak, baik pihak perusahaan selaku penyedia pekerjaan maupun pihak pekerja itu sendiri.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Moneter, Fiskal dan Kebijakan Publik, Haryadi B. Sukamdi, mengatakan dalam pelaksanaannya di lapangan masih banyak hal yang perlu diluruskan agar persoalan outsourcing bisa dipecahkan dan diimplementasikan guna efektivitas kerja perusahaan. Ia menilai, sejauh ini tujuan pelaksanaan outsourcing untuk efektivitas kerja perusahaan belum tercapai.


“Tujuan pelaksanaan outsourcing untuk efektivitas sepertinya belum tercapai,” kata Haryadi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (10/7).

Selain masih menemui kendala terkait ketentuan pesangon baik untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun untuk Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), Haryadi menjelaskan ternyata masalah outsourcing juga terkendala persoalan diskriminasi antara karyawan outsourcing dengan karyawan yang langsung PKWT dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Melihat fenomena ini, Haryadi mengharapkan agar ada kebijakan bersama antara pihak pelaksana outsourcing dan perusahaan pemberi pekerjaan untuk memberikan cadangan pesangon kepada karyawan PKWT maupun PKWTT. Namun, pada faktanya hingga saat ini belum ada aturan atau ketentuan terkait petunjuk tertulis (Juklis) yang lebih jelas tentang siapa yang bertanggung jawab untuk membayar biaya pesangon tersebut.

Wakil Ketua Komite Tetap Tenaga Kerja Kadin, Iftida Yasar, menawarkan beberapa solusi terkait permasalahan outsourcing. Pertama, pemerintah harus melakukan pengawasan dan menetapkan standar regulasi di tingkat pusat dan daerah. Menurutnya, diperlukan pengawas yang mempunyai sertifikasi kompetensi.

“Pemerintah juga harus memastikan semua regulasi dapat diimplementasikan, bukan malah menimbulkan polemik di lapangan,” katanya.


Kedua, pengusaha atau industri diharap dapat menentukan core dan non core serta membuat skema hubungan kerjasama yang melindungi hak pekerja atau buruh. Iftida mengatakan, perusahaan seharusnya menetapkan outsourcing bukan untuk cost reduction tetapi semangat untuk fokus pada bisnis dan produktivitas yang berkaitan dengan kesejahteraan.

Ketiga, perusahaan outsourcing harus profesional dan taat hukum sehingga dapat menjadi mitra usaha yang dapat diandalkan berdasarkan kompetensi dan produktifitasnya. Keempat, pekerja atau buruh harus meningkatkan kompetensinya agar mampu bersaing di tengah era yang kompetitif sehingga akan dicari perusahaan dan mempunyai daya saing.

“Selain itu saya juga merekomendasikan agar segera dibuat badan independen atau rumusan besarnya iuran pesangon untuk dapat memenuhi hak-hak pekerja jika tidak dapat melanjutkan hubungan kerjanya,” ujarnya.


Merujuk Putusan MK
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsos Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), R. Irianto Simbolon, menjelaskan praktik outsourcing sudah ditetapkan melalui Putusan MK No. 27 Tahun 2011 mengenai pengujian Pasal 59, 64, 65 dan 66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945.

Beberapa pasal tersebut, kata Irianto, menyebabkan para pekerja PKWT atau outsourcing kehilangan jaminan atas pekerja atau buruh, kehilangan hak-hak dan jaminan kerja yang dinikmati oleh pekerja tetap serta kehilangan hak-hak yang seharusnya diterima pekerja sesuai dengan masa kerja pegawai karena ketidakjelasan penghitunganya. “Sekarang kita harus mengacu kepada keputusan MK,” kata Irianto di tempat yang sama.

Beberapa pasal di atas, jelas tidak sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat (2) dan pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Artinya, MK memutuskan setiap pekerja outsourcing harus mendapatkan hak yang sama dengan pekerja non outsourcing. Untuk itu, lanjut Irianto, perusahaan outsourcing harus memperhitungkan masa kerja yang ada sebagai acuan untuk menentukan upah dan hak-hak lainnya di perusahaan outsourcing yang bersangkutan, termasuk terjadi hal pengalihan kepada perusahaan penerima pekerjaan yang lain.

Irianto menyetujui beberapa solusi yang ditawarkan oleh Kadin. Menurutnya, perusahaan penerima pekerjaan harus meningkatkan kualitas SDM pekerja atau buruh outsourcing. Namun, perusahaan penerima pekerjaan juga harus memberikan imbalan yang proporsional kepada pekerja atau buruh outsourcing sesuai dengan masa kerjanya.

Sedangkan untuk perusahaan pemberi pekerjaan, Irianto mengharapkan beberapa hal. Pertama, menetapkan standar kepada pekerja atau buruh yang dapat dipekerjakan di perusahaan pemberi pekerjaan, Kedua, memastikan adanya kelangsungan kerja berupa pengalihan hak-hak pekerja atau buruh outsourcing dalam hal perusahaan penerima pekerjaan tidak lagi mendapatkan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan.

Ketiga, membuat “akses” pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian kerja antara perusahaan penerima pekerjaan dengan pekerja atau buruh yang dituangkan di dalam perjanjian pemborongan atau perjanjian penyediaan jasa.

Ketua Umum Indonesia Outsourcing Association (IOA), Wisnu Wibowo, menjelaskan sejauh ini seluruh perusahaan yang tergabung di dalam IOA sudah menjalankan praktik outsourcing dengan benar. Bahkan, katanya, tunjangan dan bonus yang diberikan kepada pekerja outsourcing jauh lebih besar daripada pekerja non outsourcing.

“Kita memberikan tunjangan dan bonus yang lebih tinggi kepada pekerja outsourcing daripada pekerja non outsourcing,” katanya.

Perbedaan tunjangan dan upah ini, lanjut Wisnu, dikarenakan pegawai non outsourcing akan mendapatkan uang pesangon jika terjadi pemutusan kerja oleh pihak perusahaan. Terkait dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Wisnu menilai ada beberapa pasal yang terlalu memproteksi pekerja atau buruh sehingga memberatkan pekerja. Salah satunya adalah mengenai pesangon yang diberikan kepada pekerja jika perusahaan melakukan pemutusan kerja sepihak.

Undang-undang tersebut, katanya, tidak  menjelaskan soal perbedaan pesangon jika perusahaan memberhentikan pekerja dengan alasan disiplin atau tindak kejahatan yang merugikan perusahaan. 

“Seharusnya undang-undang menjelaskan itu semua. Masa pekerja yang di PHK karena terbukti merugikan perusahaan harus diberikan pesangon yang sama dengan pekerja yang di PHK karena disiplin? Undang-undang harus mengatur lebih jelas tentang ini,” pungkasnya.

Tags: