Bahasa Hukum: ‘Melaksanakan Perintah Jabatan’
Berita

Bahasa Hukum: ‘Melaksanakan Perintah Jabatan’

“Id damnum dat qui iubet dare; eius vero nulla culpa est, cui parere necesse sit”. Pertanggungjawaban tidak akan diminta dari mereka yang patuh melaksanakan perintah, melainkan kepada mereka yang memberi perintah.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Bahasa Hukum: ‘Melaksanakan Perintah Jabatan’
Hukumonline

Dalam sejumlah kasus yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terdakwa sering berdalih hanya melaksanakan perintah dalam jabatannya, atau melaksanakan perintah atasan. Argumentasi semacam itu dikemukakan agar terdakwa lolos dari jerat pidana.

Melaksanakan perintah jabatan merupakan salah satu alasan menghapus pidana yang dikenal dalam KUHP. Alasan penghapus pidana dalam KUHP meliputi alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond). ‘Melaksanakan perintah jabatan’ termasuk bagian dari alasan pembenar. Alasan lainnya adalah keadaan darurat (noodtoestand), pembelaan terpaksa (noodweer), dan melaksanakan perintah undang-undang. Alasan penghapus pidana juga dikenal dalam perundang-undangan di luar KUHP.

Rumusan tentang ‘perintah jabatan’ (ambtelijk bevel) diatur dalam pasal 51 KUHP. Ayat (1) pasal ini menyebutkan barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Selanjutnya, ayat (2) menyatakan perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Apa yang dimaksud ‘perintah’ dalam pasal 51 KUHP ini? Mengutip putusan Hoge Raad 17 Desember 1899 No. 6603, E. Utrecht  (1999: 377) berpendapat perintah di sini bukan saja perintah dalam arti konkrit, tetapi juga suatu instruksi yang bersifat umum.

Perintah jabatan atau ambtelijk bevel dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, dimana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu ambtelijke positie atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah (P.A.F Lamintang, 1984: 500).

Yang penting, kata Andi Hamzah (1994: 163), perintah itu diberikan karena jabatan. Jadi, antara yang memberi perintah dan orang yang diperintah ada hubungan hukum publik. Perintah yang diberikan pejabat pekerjaan umum kepada pemborong berdasarkan hukum perjanjian tidak masuk kategori ‘perintah jabatan’. Menurut S.R. Sianturi (1996: 290), hubungan hukum itu harus menurut hukum publik. Posisi pemberi perintah harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan dari hukum publik. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar bisa disebut perintah jabatan, yakni (i) ada hubungan antara pemberi perintah dengan pelaksana perintah berdasarkan hukum publik; (ii) kewenangan pemberi perintah harus sesuai dengan jabatannya berdasarkan hukum publik tersebut; dan (iii) perintah yang diberikan itu termasuk dalam lingkungan kewenangan jabatannya.

Apakah hubungan hukum itu harus atasan dengan bawahan (ondergeschiktheid) dalam hubungan kepegawaian, misalnya dekan memberi perintah kepada pembantu dekan? Utrecht (1999: 378) menulis baik yang memerintah maupun yang diperintah tidak perlu berstatus pegawai negeri. ‘Ambtelijk’ hanya berarti saja suatu hubungan menurut hukum publik. Tidak perlu juga secara hierarkis yang diperintah berada di bawah pemberi perintah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: