Komnas HAM Nyatakan Ada Pelanggaran HAM Berat
Kasus 1965-1966:

Komnas HAM Nyatakan Ada Pelanggaran HAM Berat

Ada sembilan dari 10 kejahatan dalam pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam kasus 1965.

Oleh:
Ady TD Achmad/Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Ketua Komnas HAM, Nur Kholis. Foto: Sgp
Ketua Komnas HAM, Nur Kholis. Foto: Sgp

Komnas HAM akhirnya mengumumkan hasil penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966 yang dilakukan sejak tahun 2008. Hasilnya, Komnas HAM menemukan pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan yang meluas dan sistemik.

Berdasarkan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ada 10 perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu, penghilangan orang secara paksa, atau kejahatan apartheid.

Dari 10 kejahatan tersebut, hanya kejahatan apartheid yang tak ditemukan bukti-buktinya dalam penyelidikan Komnas HAM ini.

Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM, Nur Kholis mengatakan kesimpulan ini didapat dari sekira 340 berita acara pemeriksaaan dan ratusan bukti dari hasil penyelidikan yang telah dilakukan dalam kurun empat tahun itu. Sebagian besar data diperoleh dari wawancara dengan para saksi dan korban serta pihak terkait lainnya di berbagai daerah kecuali Papua.

Nur Kholis menyebut berkas hasil penyelidikan telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung pada 20 Juli 2012 untuk ditindaklanjuti.

“Yang terpenting, kita temukan terjadi di berbagai tempat,” kata Nur Kholis ketika menjelaskan serangan terhadap para korban peristiwa 1965 terjadi bukan hanya sistemik, tapi juga meluas dalam jumpa pers di gedung Komnas HAM, Jakarta, Senin (23/7).

Mayoritas korban yang menerima serangan menurut Nur Kholis bukan hanya terdiri dari satu jenis serangan, tapi banyak jenis. “Jadi satu orang bisa mengalami lebih dari satu tindak pidana,” ujarnya. Selain itu Nur Kholis menemukan bahwa dimana tempat pemeriksaan terjadi, di situ diindikasikan tempat penyiksaan. Pemeriksaan itu sebagian besar dilakukan di gedung milik militer. Bahkan gedung Komnas HAM Jakarta, yang dulu sebagai salah satu gedung milik Sandi Negara (badan intelijen,-red), sempat digunakan sebagai tempat penyiksaan.

Serangan terhadap korban 1965 itu menurut Nur Kholis berasal dari kebijakan yang diterbitkan penguasa ketika itu dan sejumlah lembaga militer yang melaksanakannya. Para pejabat tinggi di sejumlah lembaga militer menurut Nur Kholis dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam peristiwa 1965.

Salah satunya adalah Kopkamtib, baik di kota maupun daerah. Namun, Nur Kholis mengaku tidak dapat menyebutkan siapa saja nama pejabat militer yang mesti bertanggung jawab. Menurut dia itu menjadi kewenangan Kejagung untuk menindaklanjuti penyelidikan tersebut dengan penyidikan. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (5) UU Pengadilan HAM.

Namun, Nur Kholis mengatakan rekomendasi Komnas HAM untuk memenuhi rasa keadilan korban dan keluarganya pada peristiwa 1965 bukan hanya lewat pengadilan. Terdapat mekanisme lain yaitu non yudisial lewat komisi kebenaran dan rekonsiliasi sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Pengadilan HAM.

Pada kesempatan yang sama Sekretaris Tim Penyelidikan, Kabul Supriyadhi, mengatakan alasan tidak ditemukannya kejahatan apartheid. Pasalnya, para korban terdiri dari lintas etnis, agama dan lainnya. Sedangkan kejahatan apartheid yaitu pemusnahan terhadap suatu kelompok etnis tertentu atau agama tertentu serta kelompok sejenis lainnya.

Walau lembaga yang dapat diminta pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam peristiwa 1965 sudah tidak ada misalnya Kopkamtib, bukan berarti para pelaku dapat bebas dari jerat hukum. Kabul mengatakan bahwa dalam pengadilan HAM yang disasar adalah individu yang melakukan tindakan pelanggaran HAM saat peristiwa 1965 terjadi. Sedangkan untuk para pelaku yang meninggal dunia, Kabul mengatakan tidak dapat diminta pertanggungjawaban.

Sementara anggota komisioner Komnas HAM lainnya yang juga menjadi angota tim penyelidikan, Yosep Adi Prasetyo, mengatakan terdapat istilah yang digunakan dalam serangan terhadap para korban 1965 dan bertahan hingga masa kekuasaan Orde Baru berakhir.

Misalnya “diamankan”, yaitu sebuah proses dimana orang ditangkap tanpa lewat proses hukum yang harus dilakukan. Ada pula istilah “dibon”, yaitu ketika terdapat tahanan yang ditahan suatu instansi, lalu instansi lain meminjam tahanan itu untuk diminta keterangan. Bahkan ketika dipinjam tak jarang terjadi penyiksaan.

Pria yang akrab disapa Stanley itu pun menyebutkan disekitar tahun 1970-an, penjara yang ada tidak dapat lagi menampung para tahanan yang dituduh terlibat G30S. Sehingga mayoritas tahanan dipindah ke pulau Buru dan di tempat itu para tahanan diperintah untuk melakukan kerja paksa. Misalnya menanam sejumlah tanaman yang dapat dikonsumsi sehingga dapat digunakan untuk menghidupi para penjaga tahanan di penjara.

Stanley mengingatkan, status tahanan politik (tapol) terhadap para korban sifatnya tidak jelas. Pasalnya, para tahanan tidak pernah dibuktikan pidananya. Selain itu Stanley mengingatkan agar pemerintah memperhatikan pemulihan hak para korban. Karena para korban dan keluarganya telah mengalami berbagai bentuk pelanggaran HAM dalam kurun waktu cukup lama. “Mereka dirampas tanahnya oleh militer, hak produktifnya juga dihilangkan,” ungkap Stanley.

Anggota Komnas HAM lainnya, Johny Nelson Simanjuntak, menyebutkan proses penyelidikan adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan Komnas HAM untuk membantu upaya pemenuhan hak para korban peristiwa 1965. Upaya penyelesaian yudisial selanjutnya menurut Johny ada di Kejagung. Namun Johny mengingatkan ada upaya di luar pengadilan yang dapat ditempuh untuk mewujudkan pemenuhan hak bagi korban. “Komnas HAM hanya melakukan penyelidikan pro yustisia,” ujarnya.

Terpisah, Jaksa Agung Basrief Arief belum mau mengomentari hasil penyelidikan Komnas HAM. “Itu belum saya baca. Itu tugas mereka untuk penyelidikan. Nanti saya lihat dulu.”

Tags: