Pakar Pidana Anggap MoU Lemahkan KPK
Berita

Pakar Pidana Anggap MoU Lemahkan KPK

MoU harus direvisi, disesuaikan dengan UU KPK.

Oleh:
rfq
Bacaan 2 Menit
Yusril Ihza Mahendra berbicara tentang kemungkinan Polri menempuh langkah hukum SKLN. Foto: Sgp
Yusril Ihza Mahendra berbicara tentang kemungkinan Polri menempuh langkah hukum SKLN. Foto: Sgp

Berbeda keahlian berbeda pula pendapat yang diberikan. Jika Yusril Ihza Mahendra berbicara tentang kemungkinan Polri menempuh langkah hukum sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN), Romli Atmasasmita justru berbicara tentang nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) yang terjalin antara KPK, Kejagung, dan Polri.

Sebagaimana diketahui, Yusril dan Romli diundang Polri untuk memberikan pendapat hukum seputar tarik ulur kewenangan menyidik kasus dugaan korupsi simulator SIM. Kasus ini hangat diperbincangkan dan diberitakan media karena baik KPK maupun Polri mengklaim paling berwenang menyidik kasus yang diduga melibatkan eks Kakorlantas Djoko Susilo.

Usai memberikan pendapat hukum, Romli mengatakan pangkal permasalahan polemik antara Polri dan KPK terletak pada MoU. Keberadaan MoU itu, menurut dia, justru melemahkan KPK. Makanya, Romli menyayangkan keputusan KPK, melalui sang Ketua Abraham Samad menandatangani MoU tersebut. Seharusnya, MoU itu tidak ditandatangani oleh Abraham.

“MoU yang dibuat oleh tiga pihak itu Jaksa Agung, Kapolri dan KPK ada masalah. Masalahnya justru MoU melemahkan UU KPK dan tetap ditandatangani Abraham Samad,” ujar pakar pidana yang juga terlibat dalam penyusunan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Menurut Romli, UU KPK sebenarnya telah memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan supervisi terhadap Kejagung dan Polri. Namun, sayangnya kewenangan itu justru diperlemah atau bahkan dihilangkan oleh MoU. Gara-gara MoU itu, kata Romli, kewenangan supervisi KPK menjadi selevel dengan Kejaksaan dan Polri.

Romli kelemahan pada MoU itu misalnya terlihat dari adanya klausul tentang pengendalian bersama terhadap upaya pemberantasan korupsi. Dia tegaskan, UU KPK tidak mengenal pengendalian bersama. Yang ada justru kewenangan KPK melakukan supervisi dan mengoordinasi upaya pemberantasan korupsi.

“Sebetulnya tidak perlu diteken oleh Abraham Samad. Di UU KPK cukup jelas. Tapi memang ada yang perlu diatur teknis dan akan jadi norma baru,” kata Romli.

Masalahnya, ibarat nasi sudah menjadi bubur, MoU sudah kadung ditandatangani. KPK tidak bisa mengabaikan atau bahkan membatalkan MoU tersebut begitu saja karena taruhannya adalah integritas para pimpinan KPK. “Ini persoalan serius. Makanya siapa yang nyusun MoU kok jadi begini,” katanya.

Sebagai tawaran solusi, Romli menyarankan MoU yang ditandatangani ketiga instansi penegak hukum itu direvisi. Dia mengimbau KPK, Kejagung, dan Polri duduk bersama untuk membahas revisi MoU tersebut. Romli mensyaratkan revisi MoU harus disesuaikan dengan UU KPK. “(ketiga lembaga, red.) Duduk bersama lagi membahas MoU. MoU itu diselaraskan dengan UU KPK,” tandasnya.

Sebelumnya, ILUNI FHUI juga mempersoalkan keberadaan MoU yang ditandatangani bulan Maret 2012 silam. Dalam siaran pers, ILUNI FHUI berpendapat MoU ataupun bentuk kerjasama lainnya antara KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan harus tetap mengacu pada ketentuan UU KPK. Ditegaskan ILUNI FHUI, MoU bukanlah undang-undang dan substansinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, dalam hal ini UU KPK.

“ILUNI FHUI menghargai pentingnya koordinasi dan sinergi antara lembaga penegak hukum, khususnya KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. ILUNI FHUI berpendapat sikap tegas dan teladan dari Presiden Yudhoyono selaku Kepala Pemerintahan yang membawahi Kepolisian dan Kejaksaan sangat diperlukan guna menjaga koordinasi dan sinergi, dan pada saat yang sama, mencegah konflik dalam upaya pemberantasan korupsi,” tulis ILUNI FHUI dalam siaran pers.

Tags: