Presiden Menjadi Kunci Hentikan Polemik KPK-Polri
Utama

Presiden Menjadi Kunci Hentikan Polemik KPK-Polri

Jubir kepresidenan menilai tidak ada konflik.

Oleh:
rfq/ant
Bacaan 2 Menit
Presiden SBY dan Wakil Presiden Budiono. Foto: Sgp
Presiden SBY dan Wakil Presiden Budiono. Foto: Sgp

Polemik penanganan kasus dugaan korupsi simulator SIM terus bergulir. Sejumlah kalangan mulai dari pengamat, pakar, LSM, atau bahkan ikatan alumni universitas turut memberikan komentar sekaligus masukan. Sebagian besar dari mereka menyebut perlunya Presiden SBY turun tangan agar polemik yang terjadi antara Polri dan KPK berakhir.

Pakar HTN Yusril Ihza Mahendra mengatakan dalam situasi seperti ini, presiden sudah selayaknya turun tangan. Dia berharap Presiden SBY berkenan berbicara dengan pimpinan kedua lembaga untuk meredam konflik yang terjadi. “Kalau presidennya punya kewibawaan, tentunya bisa berbicara kepada kedua institusi ini,” ujar Yusril di Mabes Polri, Senin (6/8).

Menurut Yusril, jika presiden turun tangan, maka tindakan itu bukan intervensi. Polri dan Kejaksaan, kata Yusril, secara struktur berada di bawah kendali presiden. Makanya, presiden bisa memberikan pendapat dan saran kepada Polri dan Kejaksaan. Dia tegaskan, presiden baru dapat dianggap intervensi jika berkaitan dengan proses di pengadilan.

Selain Yusril, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifudin juga berharap Presiden SBY turun tangan menengahi polemik KPK-Polri. Dalam siaran pers yang diperoleh hukumonline, Lukman mengatakan polemik antara KPK dan Polri tidak bisa dibiarkan karena pembiaran akan menempatkan komitmen negara dalam pemberantasan korupsi di titik nadir.

Lukman menyodorkan dua rekomendasi solusi. Pertama, presiden secepatnya turun tangan agar kedua institusi penegak hukum yang berseteru mematuhi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam hal ini, kata Lukman, presiden tak perlu takut dituding melakukan intervensi. Pasalnya, dalam situasi seperti ini, seorang presiden memang dituntut untuk menggunakan otoritasnya demi menyelesaikan sengketa.

Rekomendasi kedua, Lukman mendorong masyarakat untuk mengajukan permohonan pengujian (judicial review) UU KPK ke MK. Langkah ini ditempuh jika presiden bergeming tak mau turun tangan. “Masyarakat bisa ajukan kasus yang memiriskan itu ke ranah hukum, yaitu MK,” katanya.

Lukman berharap melalui judicial review, MK dapat memberikan tafsir terhadap UU KPK sehingga tercipta kepastian hukum.

Sebagaimana diketahui, Senin kemarin (6/8), tiga warga negara yang berprofesi sebagai advokat mendaftarkan permohonan pengujian Pasal 50 ayat (3) UU KPK.Para pemohon meminta MK mempertegas penafsiran frasa “kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan” dalam Pasal yang diuji.

Senada dengan Yusril dan Lukman, praktisi hukum senior Todung Mulya menyebut Presiden SBY memegang kunci untuk menyelesaikan polemik KPK-Polri. Todung berharap Presiden SBY turun tangan meminta seluruh perangkat Polri untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada KPK.

"Presiden tidak boleh 'ewuh pakewuh' (bersikap segan) karena KPK punya kewenangan berdasarkan UU KPK. Tidak cukup hanya Menkopolhukam yang mengimbau tapi Presiden harus turun tangan, kuncinya di Presiden," kata Todung di gedung KPK Jakarta, Senin (6/8).

Menurut Todung, penanganan suatu kasus tidak boleh ditangani oleh dua institusi. Makanya, dia menegaskan KPK yang lebih berwenang menyidik kasus simulator. Kewenangan KPK ini tidak bisa dikesampingkan oleh sebuah nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU).

"MoU memang ada tapi tidak mengalahkan undang-undang yang mengikat, jadi bila mengacu pada MoU dasar hukumnya lemah karena fungisnya hanya koordinasi tapi mandat berdasarkan hukum adalah kepada KPK," ujar Todung.

Diharapkan turun tangan oleh sejumlah kalangan, sayangnya, Presiden SBY justru terkesan adem-ayem. Jumat lalu (3/8), Presiden SBY hanya memerintahkan Menko Polhukam Djoko Suyanto untuk segera berkomunikasi dengan Kapolri dan pimpinan KPK agar kedua lembaga tersebut bersinergi dalam penanganan kasus simulator SIM.

Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha menegaskan Presiden SBY tidak mungkin melakukan intervensi karena ini merupakan ranah hukum dan proses sedang berjalan. "Posisi Presiden jelas, harus taat hukum, tidak boleh dipaksa untuk ikut masuk apalagi yang sifatnya teknis dalam penanganan perkara hukum," ujar Julian.

Menurut Julian, tidak ada konflik antara KPK dan Polri. Namun, dia akui awalnya memang muncul perbedan persepsi antara kedua lembaga. “Namun itu telah dikomunikasikan kedua belah pihak dan sebagaimana diketahui baik Polri dan KPK menangani (kasus-red) Korlantas Polri," kata Julian disela-sela mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat koordinasi bidang energi di Kantor Pusat Pertamina Jakarta, Selasa (7/8).

Berdasarkan catatan hukumonline, Presiden SBY sebenarnya sudah pernah berada di posisi seperti ini yakni dituntut turun tangan menengahi perseteruan antar lembaga negara. Kebetulan, 'pengalaman' SBY itu juga menyangkut KPK. Sekira tiga tahun silam, Presiden SBY diminta turun tangan terkait upaya kriminalisasi dua pimpinan KPK Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Ketika itu, Presiden SBY mengambil posisi untuk tidak terlibat terlalu jauh. Dewan Pembina Partai Demokrat itu hanya menyarankan agar kasus Bibit-Chandra tidak dibawa ke pengadilan.

Empat tahun sebelum kasus Bibit-Chandra, Presiden SBY bahkan pernah memanggil Ketua KPK kala itu, Taufiqurrahman Ruki dan Ketua MA Bagir Manan ke Istana Negara. Bagir dan Ruki dipanggil terkait perseteruan kedua lembaga dalam proses penanganan kasus korupsi yang melibatkan mantan Hakim Tinggi Harini Wijoso. 

Tags: