UU KPK Lebih ‘Kuat’ Ketimbang UU Polri
Berita

UU KPK Lebih ‘Kuat’ Ketimbang UU Polri

Lebih khusus dan lebih baru. KPK lebih berwenang mengusut kasus simulator.

Oleh:
Fat
Bacaan 2 Menit
UU KPK lebih kuat ketimbang UU Polri. Foto: Sgp
UU KPK lebih kuat ketimbang UU Polri. Foto: Sgp

Penanganan kasus dugaan korupsi proyek driving simulator SIM kendaraan roda dua dan roda empat di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri tahun anggaran 2011 oleh KPK dan Kepolisian menjadi persoalan tersendiri. Ada sejumlah kalangan yang mengatakan KPK yang berwenang menangani perkara tersebut, tapi tak sedikit juga yang mendukung Kepolisian untuk menanganinya.

Sejumlah argumentasi dikeluarkan, mulai dari berpatokan pada Memorandum of Understanding (MoU) antar tiga instansi penegak hukum, sampai pada masing-masing undang-undang hingga ke KUHP dan KUHAP. Argumentasi melalui pendekatan hukum ini juga disampaikan pengajar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana.

Menurut Gandjar, kedua instansi, baik Kepolisian dan KPK masing-masing memiliki kewenangan yang diatur undang-undangnya sendiri. Maka, keduanya berwenang menangani perkara simulator SIM yang diduga merugikan uang negara hingga miliaran rupiah tersebut.

Namun, lanjut Gandjar, dari kedua instansi tersebut dirinya lebih sepakat jika KPK yang menangani perkara ini. Alasan hukumnya ada di Pasal 50 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tersebut. “Masalahnya, Polri tak tunduk pada UU KPK, tapi ke KUHAP,” kata Gandjar dalam sebuah diskusi, Jumat (10/8).

Menurut Gandjar, jika KUHAP atau KUHP dijadikan Kepolisian sebagai dasar untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya, ia pun mencoba menselaraskan persoalan ini dengan asas hukum lex specialis derogate lege generalis. Asas ini artinya adalah hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum umum.

Gandjar mengatakan, semua undang-undang kecuali KUHAP dan KUHP adalah lex spesialis. Begitu juga dengan UU KPK dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri juga sama-sama lex spesialis. Maka itu, KUHAP ataupun KUHP dapat dikesampingkan dengan kedua undang-undang lex spesialis ini.

Kemudian, karena kedua undang-undang tersebut sama-sama lex spesialis, tinggal dicari mana yang lebih ‘kuat’di antara keduanya. Gandjar pun mulai menyinggung prinsip hukum lain yakni, norma hukum yang lebih baru mengesampingkan norma hukum lama. Kenapa prinsip hukum ini dianggap penting. Karena, setiap pemangku kepentingan dalam membuat undang-undang pasti melakukan harmonisasi dengan undang-undang lain apakah undang-undang yang baru dibuat isinya bertentangan dengan undang-undang sebelumnya atau tidak.

Jika tidak bertentangan, maka undang-undang yang baru dapat disahkan. Kalau dilihat dari urutannya, UU Polri lebih dulu lahir ketimbang UU KPK. Kedua undang-undang ini juga memberikan kewenangan untuk menangani perkara. Karena kedua instansi sama-sama telah menyidik, maka jawaban siapa yang lebih berwenang menangani perkara simulator ini ada di UU KPK.

Karena di dalam UU KPK khususnya Pasal 50 ayat (3) dan ayat (4) disebutkan bahwa bilamana KPK tengah melakukan penyidikan terhadap suatu perkara dan perkara tersebut juga tengah disidik Kepolisian dan Kejaksaan, maka Kepolisian dan Kejaksaan tak berwenang lagi melakukan penyidikan terhadap perkara tersebut.

Menurut Gandjar pasal tersebut bisa dikatakan sebagai fungsi supervisi yang melekat di lembaga KPK. Sedangkan di dalam UU Polri, tak ada satu pasal pun yang menyebutkan mengenai kewenangan supervisi itu. Dengan begitu, ia berharap, Polri dapat segera memberikan perkara itu kepada KPK.

“Penyelesaian secara hukum harus melalui pendekatan undang-undang. Kajjian undang-undang yang satu-satunya jalan keluar mengatur persoalan ini ada di KPK. Maka KPK lebih berwenang menangani kasus ini. Berikut serahkanlah semua tersangka barang bukti dan dokumen ke KPK,” tuturnya.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Mencurigakan (PPATK), Muhammad Yusuf sepakat dengan solusi dalam Pasal 50 UU KPK. Namun, ia menyarankan penyelesaian dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) oleh KPK atas nama masing-masing tersangka yang pernah ditetapkan oleh Mabes Polri.

Jika KPK mengeluarkan Sprindik atas nama tersangka tersebut, maka secara otomatis Pasal 50 UU KPK bisa langsung bekerja. “Terbitkan saja SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) atas nama-nama orang yang ditetapkan tersangka oleh Polri. Kalau (Sprindik) atas nama DS dan kawan-kawan, bisa tidak sah SPDP tersebut,” ujar Yusuf.

Sebelumnya, Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, KPKmasih berkoordinasi dengan Kepolisian terkait penanganan perkara kasus ini. KPK sendiri sudah menetapkan empat tersangka yang di antaranya adalah perwira tinggi Polri. Yaitu, mantan Kakorlantas Djoko Susilo dan Wakakorlantas Didik Purnomo. Ada juga dua orang swasta yaitu Sukotjo Bambang selaku Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia dan Budi Santoso, bos PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, perusahaan pemenang tender proyek simulator.

Sedangkan pihakKepolisian sudah menetapkan lima tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah, Wakakorlantas Didik Purnomo selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek ini, Ketua Pengadaan Simulator SIM, AKBP Teddy Rusmawan dan Bendahara Korlantas, Kompol LGM. Dua tersangka lainnya berasal dari swasta yang juga telah ditetapkan tersangka oleh KPK yakni, Sukotjo dan Budi.

Tags: