Indonesia Butuh Kodifikasi Hukum Perdata Internasional
Berita

Indonesia Butuh Kodifikasi Hukum Perdata Internasional

Masih sedikit hakim yang benar-benar memahami HPI.

Oleh:
HRS
Bacaan 2 Menit
Suasana Diskusi Hukum Perdata Internasional (HPI) di kampus UI Depok. Foto: Sgp
Suasana Diskusi Hukum Perdata Internasional (HPI) di kampus UI Depok. Foto: Sgp

Peraturan tertulis di bidang Hukum Perdata Internasional (HPI) dinilai tidak memadai lagi. Pasalnya, Indonesia masih menggunakan tiga pasal lama warisan Belanda, yaitu Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 Algemene Bepalingen (AB).

Sementara itu, banyak aktivitas hukum warga negara Indonesia yang bersentuhan dengan warga negara asing, seperti pernikahan atau perceraian antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing di Indonesia atau di luar negeri, adopsi anak-anak Indonesia oleh warga negara asing, dan warisan dari warga negara asing.

Regulasi yang dipakai selama ini masih warisan Belanda. Kepentingan hukum nasional mendesak perubahan. Dosen hukum perdata internasional, Mutiara Hikmah mengatakan peraturan tertulis HPI perlu guna kepastian hukum dan kepentingan hukum nasional. Bahkan dalam kasus HPI, yang dibutuhkan bukan hanya satu aturan tertulis, tetapi sudah mengarah pada sebuah kodifikasi.

“Kodifikasi secara lengkap dan sistematis itu diperlukan untuk kepastian hukum. Sementara itu, peraturan tertulis sekarang tidak memadai lagi, yaitu Pasal 16 AB, Pasal 17 AB, dan Pasal 18 AB,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Depok, Rabu (12/9).

Menurut dosen Fakultas Hukum UI ini, Indonesia telah tertinggal dari tiga negara Asia lain yang sudah memiliki aturan di bidang HPI, yaitu Jepang, Cina, dan Thailand. Jepang telah memiliki aturan di bidang HPI sejak tahun 1898, Cina sejak 1918, dan Thailand sejak 1939. Sedangkan Belanda, negara ini baru memiliki aturan ini sejak 19 mei 2011.

Selain di bidang hukum keluarga, masalah kontrak atau perjanjian yang memuat klausula tentang pilihan hukum dan forum hukum juga menjadi hal penting perlunya aturan di bidang HPI ini. Menurut Mutiara, sebanyak 80 persen kontrak di bidang pertambangan dan migas banyak menggunakan pilihan hukum asing. “Apa artinya tidak ada kepercayaan dengan hukum kita? Kita tidak tahu,” ucap Mutiara heran.

Mutiara mengatakan kodifikasi HPI juga diperlukan sebagai pedoman bagi hakim di pengadilan dalam menangani perkara perdata lintas negara.Berdasarkan riset yang dia lakukan pada 2005-2006,Mutiara berkesimpulankemampuan hakim di bidang HPI sangat rendah. Banyak putusan hakim yang menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, padahal kasus yang ditangani adalah ranah HPI.

Tags: