Tokoh Syiah Uji Aturan Penodaan Agama
Berita

Tokoh Syiah Uji Aturan Penodaan Agama

Pemohon meminta MK agar Pasal 156a KUHP sebelum diterapkan, harus terlebih dahulu dilakukan peringatan melalui SKB tiga menteri.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Tokoh Syiah Uji Aturan Penodaan Agama di  Gedung MK. Foto: ilustrasi (Sgp)
Tokoh Syiah Uji Aturan Penodaan Agama di Gedung MK. Foto: ilustrasi (Sgp)

Tajul Muluk, terpidana penistaan agama yang juga pemimpin Syiah di Sampang, bersama Hassan Alaydrus, Ahmad Hidayat, dan Umat Shahab, mengajukan uji materi Pasal 156 (a) KUHP jo Pasal 4 UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Mereka menilai UU No. 1/PNPS Tahun 1965 bertentangan dengan UUD 1945.

Para pemohon meminta MK memberi tafsir pengetatan Pasal 156a KUHP. “Yang berlaku selama ini, aparat penegak hukum khususnya di daerah itu bisa memberikan tafsir liar sesuka hati mereka demi kepentingan daerah," kata kuasa hukum pemohon, Iqbal Tawakkal Pasaribu dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, di  Gedung MK, Jumat (14/9).

Pasal 156a KUHP berbunyi, “Dipidana dengan penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perasaan atau melakukan perbuatan : a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pasal 4 UU No. 1/PNPS Tahun 1965 menyebutkan, “Pada KUHP diadakan pasal baru yang berbunyi, ‘Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. b. dengan maksud dengan agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Iqbal menilai jika Tajul Muluk ingin dijerat Pasal 156a KUHP maka haruslah didahului dengan SKB tiga menteri. Yang dimaksud adalah SKB Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung. Menurut Iqbal untuk mempidanakan seseorang atas tuduhan penodaan agama, seharusnya melalui proses yang sudah ditentukan dalam UU.

“Kalau ada orang mau dikenakan pidana dengan UU penodaan agama itu, seharusnya ada perintah atau peringatan keras atau teguran dari pemerintah pusat seperti disebut dalam SKB tiga menteri,” ujarnya.

Untuk itu, dia meminta MK agar Pasal 156a KUHP harus didahului dengan SKB 3 menteri. Jika tidak, maka orang-orang yang mengeluarkan pendapat tentang agama menjadi terhalang. “Ini juga preseden buruk, mengingat jika tidak segera dikoreksi oleh MK, maka bisa jadi ada jutaan orang guru, tokoh agama dan pendakwah dianggap ‘sesat’ oleh aparat keamanan di daerah,” tudingnya.

Salah satu pemohon, Ahmad Hidayat  mengatakan bahwa kerugian yang dialami dirinya yakni tidak adanya kepastian hukum ketika orang mengeluarkan pendapat di depan umum menjadi terhalangi. “Ini juga preseden buruk, jika tak segera dikoreksi oleh MK, bisa jadi ada jutaan orang guru, tokoh agama, dan pendakwah dianggap "sesat" oleh aparat keamanan di daerah,” kata Ahmad.

Karenanya, dirinya memohon kepada MK agar Pasal 156a KUHP sebelum diterapkan, harus terlebih dahulu dilakukan peringatan melalui SKB 3 menteri. “Peringatan SKB tiga menteri terlebih dahulu itu fokus kami,” tegasnya.

Untuk diketahui, pengujian ini berawal dari kasus Tajul Muluk di Sampang, Madura pada Juli 2012 yang divonis dua tahun penjara karena dinyatakan telah melakukan penodaan dan penistaan agama.

Tags: