Melirik Pintu Alternatif Rekrutmen Advokat
Utama

Melirik Pintu Alternatif Rekrutmen Advokat

PERADI dan Magister Litigasi UGM masih menggodok konsep final.

Oleh:
IMAM H WIBOWO/HOSPITA YULIMA
Bacaan 2 Menit
PERADI sudah kerjasama dengan Magister Hukum Litigasi UGM sejak 2010. Foto: ilustrasi (Ihw)
PERADI sudah kerjasama dengan Magister Hukum Litigasi UGM sejak 2010. Foto: ilustrasi (Ihw)

Wacana tentang program Magister Advokat sudah mengemuka pada Lokakarya Pendidikan Profesi Advokat yang diselenggarakan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Univeritas Tarumanegara pada Maret 2009 lalu. Kala itu program Magister Advokat diusulkan sebagai jalur alternatif untuk menjadi advokat selain lewat pendidikan khusus profesi advokat (PKPA). Setelah lebih dari tiga tahun, bagaimana kelanjutan kabar program itu?

Ketua Umum PERADI Otto Hasibuan mengatakan sudah menjajaki kerjasama dengan beberapa universitas untuk menyelenggarakan program ini. Salah satunya adalah bekerjasama dengan program Magister Litigasi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

“Ini merupakan embrio dari PERADI tetapi masih terbatas untuk mendapatkan gelar magister,” kata Otto kepada hukumonline, Selasa (11/9).

Otto mengatakan ke depan jalur magister ini sangat mungkin digunakan sebagai jalur alternatif rekrutmen advokat. Tapi ia mengatakan masih perlu penjajakan lebih lanjut, terutama soal kemungkinan baik dan buruk yang akan muncul kemudian hari.

Ketua Program Magister Litigasi UGM Edward OS Hiariej membenarkan telah mengikat kerjasama dengan PERADI sejak 2010. Ia juga membenarkan saat ini masih mematangkan konsep dengan PERADI soal dijadikannya program magister litigasi sebagai jalur alternatif rekrutmen advokat.

Profesor yang biasa disapa Eddy itu mengatakan masih ada beberapa hal yang perlu disepakati dengan PERADI. Misalnya adalah penentuan panduan, pengajar, cara magang dan persyaratan lain yang sudah diatur undang-undang untuk menjadi seorang advokat.

Lebih jauh, Eddy menuturkan usulan konsep program magister sebagai pintu rekrutmen advokat. Yaitu mahasiswa magister sejak awal perkuliahan sudah mulai dititipkan magang di kantor advokat PERADI. Lalu nanti saat ujian akhir ada advokat PERADI yang turut menjadi penguji.

“Jadi setelah lulus magister dapat gelar master hukum litigasi plus license sebagai advokat,” kata Eddy ditemui di ruang kerjanya di Fakultas Hukum UGM, Kamis (6/9).

Terinspirasi Program Pendidikan Profesi Hukum Belanda

Pertama kali dibentuk pada 2008, program Magister Hukum Litigasi UGM disebut terinspirasi dari program pendidikan profesi hukum di Belanda yang disebut rechterlijk ambtenaar in opleiding (RAIO).

Di Negeri Kincir Angin itu, seseorang yang baru lulus dari pendidikan hukum tak bisa langsung menjadi penegak hukum seperti jaksa, advokat dan hakim. “Mereka harus kuliah dulu sampai sekitar tujuh tahun di RAIO,” kata Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Eddy OS Hiariej kepada hukumonline, Kamis (6/9).

Di Belanda, lanjut Eddy, seorang sarjana hukum harus menempuh dulu pendidikan selama dua tahun di RAIO bila ingin menjadi advokat. Bila ingin menjadi jaksa, harus menambah lagi masa studinya selama dua tahun. “Setelah itu dia menambah kuliahnya tiga tahun untuk menjadi hakim.”

Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Seorang sarjana hukum yang baru lulus kuliah bisa langsung mengikuti rekrutmen untuk menjadi jaksa, advokat dan hakim.

Walau terinsipirasi, Magister Hukum Litigasi UGM belum bisa meniru persis konsep pendidikan di RAIO. Program magister litigasi justru menyasar para penegak hukum sebagai mahasiswanya. Tujuannya untuk memperkaya para praktisi hukum dari sisi teori. “Kalau dihitung dari awal berdiri pada 2008 hingga saat ini, polisi dan jaksa yang paling banyak jadi mahasiswa program ini.”

Eddy mengatakan butuh waktu panjang untuk bisa menerapkan konsep seperti RAIO untuk rekrutmen aparat penegak hukum di Indonesia. “Itu pekerjaan yang berat. Mungkin bisa dua sampai tiga puluh tahun ke depan karena melibatkan ego sektoral masing-masing lembaga.”

Soal kurikulum, Magister Litigasi ini menerapkan perbandingan fifty-fifty antara mata kuliah teori dan mata kuliah praktik. Salah satu mata kuliah unggulan dari program ini adalah Sistem Peradilan Khusus. Begitu pun dengan para pengajarnya. Sebagian akademisi, lainnya praktisi yang kebanyakan juga alumni UGM.

Lantaran mahasiswanya saat ini mayoritas adalah para penegak hukum, Magister Litigasi melaksanakan perkuliahan di akhir pekan, Jumat dan Sabtu. “Itu full seharian. Banyak juga pesertanya yang dari luar Yogya,” ujar Eddy.

Biaya kuliah di program yang status akreditasinya masih ‘B’ ini terbilang murah bila dibanding program magister lain. Yaitu sekira Rp24 juta sampai mahasiswa mengantongi gelar ‘M.H.Li’ selama empat semester.

Konsep yang diusulkan Magister Litigasi UGM sepertinya tak jauh berbeda dengan yang dibayangkan PERADI. Otto Hasibuan membayangkan mereka yang lulus magister litigasi bisa langsung otomatis menjadi advokat. “Tapi ini masih rencana.”

Kalaupun rencana itu berhasil diterapkan, Otto yakin program itu tak akan menyalahi aturan UU Advokat yang mensyaratkan adanya PKPA, ujian advokat dan magang dua tahun sebagai syarat menjadi advokat. “Ini sudah sesuai UU Advokat karena kewenangan pendidikan dan ujian ada di tangan PERADI.”

Satu yang jadi pertimbangan PERADI adalah hitung-hitungan soal dana yang harus disiapkan untuk menjadi advokat lewat jalur magister ini. “Kita berharap akhir tahun depan sudah bisa terealisasi.”

Untuk menyiapkan realisasi rencana itu PERADI akan mulai mendata kantor hukum yang mau menerima para mahasiswa magister ini untuk magang. Alternatif lain adalah menyiapkan pengurus cabang di daerah bila tak ada kantor hukum yang mau menampung mahasiswa magister.

Tags: