Kerjasama KPK–TNI Dipersoalkan
Berita

Kerjasama KPK–TNI Dipersoalkan

LSM khawatir TNI kembali ikut cawe-cawe dalam penegakan hukum seperti orde baru.

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit
LSM khawatir TNI kembali ikut campur dalam penegakan hukum seperti zaman orde baru. Foto: ilustrasi (Sgp)
LSM khawatir TNI kembali ikut campur dalam penegakan hukum seperti zaman orde baru. Foto: ilustrasi (Sgp)

Koalisi organisasi masyarakat sipil yang antara lain terdiri dari YLBHI, LBH Masyarakat, KontraS, Imparsial, dan Setara Institute khawatir atas kerjasama yang dijalin antara KPK dan TNI. Salah satu poin dalam MoU yang disepakati pada akhir pekan lalu itu memberikan kewenangan bagi KPK untuk menggunakan rumah tahanan TNI.

Menurut Koalisi, soal rumah tahanan, KPK mestinya menjalin kerjasama dengan lembaga negara yang kompeten, seperti Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Oleh karena itu Koalisi khawatir MoU antara KPK dan TNI itu akan menjadi hal yang kontra produktif dalam pemberantasan korupsi. Pasalnya, dalam MoU itu ada potensi pelanggaran konstitusi dan peraturan perundang-undangan lain serta menerobos penataan reformasi sektor keamanan.

Ketua YLBHI Alvon Kurnia mengatakan, jika masalah kekurangan jumlah rumah tahanan itu tidak dapat diselesaikan oleh Kemenkumham, KPK dapat mendesak lembaga negara terkait lainnya. “Atau di basement gedung DPR saja itu dibangun rumah tahanan, asal di bawah supervisi Kemenkumham,” kata Alvon kepada hukumonline usai jumpa pers di kantor Imparsial Jakarta, Selasa (18/9).

Potensi lainnya yang akan terancam dilanggar atas adanya MoU tersebut menurut Alvon yaitu prinsip transparansi dan akuntabel. Pasalnya, ketika rumah tahanan yang digunakan KPK tidak berada di bawah supervisi Kemenkumham, ditakutkan prinsip transparansi tidak ada. Akibatnya  pengelolaan rumah tahanan itu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.

Atas dasar itu Alvon menegaskan, jika MoU itu memberikan kewenangan KPK untuk mengelola rumah tahanan TNI untuk menahan sementara tersangka korupsi maka itu bertentangan dengan kewenangan Kemkumham. Sebaliknya, jika TNI yang mengelola rumah tahanan untuk koruptor itu, maka akan menghambat proses reformasi sektor keamanan. Karena, TNI berfungsi untuk mempertahankan kedaulatan negara bukan penegakan hukum.

Menurut Alvon, bila TNI masuk dalam ranah penegakan hukum, berarti memberlakukan kembali kebijakan yang berlaku pada masa orde baru. “Contoh, dulu kasus Marsinah. Kasus perburuhan itu diselesaikan di Koramil, artinya TNI punya peran untuk melakukan penindakan (upaya hukum) terhadap masyarakat sipil. Dalam UU TNI itu tidak dibolehkan,” tuturnya.

Alvon juga khawatir MoU itu akan berdampak terhadap kasus korupsi yang bersinggungan dengan TNI. Pasalnya, tidak menutup kemungkinan dengan adanya MoU itu dapat menghambat proses pemberantasan korupsi di lembaga TNI.

Halaman Selanjutnya:
Tags: