Jakarta Memilih
Tajuk

Jakarta Memilih

Mengelola kota seperti Jakarta, dimana pertumbuhan ekonominya merupakan yang terpesat di dunia, tetapi dengan kesenjangan kesejahteraan yang juga begitu besar, bukan soal mudah.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Jakarta Memilih
Hukumonline

Jakarta disebut banyak orang sebagai Indonesia versi mini atau juga barometer Indonesia. Apa yang terjadi di Jakarta dianggap merefleksikan secara umum apa yang terjadi di Indonesia. Kebijakan publik banyak digodok di Jakarta. Pusat pemerintahan, parlemen, judisial, ekonomi dan bisnis berada di Jakarta. Carut marut politik dan korupsi tingkat tinggi banyak terjadi di Jakarta. Sengketa politik dan bisnis yang bersifat nasional terjadi dan diselesaikan di Jakarta. Ukuran keberhasilan dan pertumbuhan ekonomi juga menggunakan statistik yang diambil dari dinamika Jakarta.

Jumlah penduduk Jakarta (9.6 juta berdasarkan sensus 2010) dengan tingkat pendapatan per kapita $ 3,458, dengan jumlah kelas menengah yang signifikan dengan diversitas yang tinggi, merupakan aset nasional yang menentukan masa depan Indonesia. Menurut Brooking Institute, Jakarta merupakan salah satu kota metropolitan yang paling baik kinerja ekonominya, mengalahkan kota-kota besar dunia seperti Beijing, Bangkok, Sao Paolo, dan Warsawa, termasuk kota-kota bisnis di Asia seperti Kuala Lumpur, Hong Kong, dan bahkan Singapura.

Tidak heran bahwa posisi sebagai orang nomor satu Jakarta sangat menarik untuk diperebutkan. Setelah reformasi, apalagi dengan sistem pilkada yang terbuka dan dimungkinkannya calon independen maju ikut pemilihan, minat bertambah. Kalau kecenderungan di negara maju juga terjadi di sini, bukan tidak mungkin jabatan gubernur bisa membawa mereka ke tingkat yang lebih tinggi, jabatan kepresidenan.

Di Amerika ada 20 orang gubernur yang menjadi presiden, dari Thomas Jefferson, Gubernur Virginia, tahun 1779-1781, sampai George Walker Bush, Gubernur Texas, tahun 1995-2000. Di Iran, Ahmadinejad bahkan menjadi gubernur suatu propinsi dan kemudian Wali Kota Teheran sebelum menjadi presiden untuk 2 masa jabatan. Seandainya tidak di bawah represi rezim orba, mungkin saja orang dengan kualitas semacam mantan Gubernur Ali Sadikin bisa menjadi Presiden RI.

Buat publik pada umumnya, ambisi untuk menjadi gubernur, dan memerintah salah satu kota terpenting di dunia, adalah hal yang wajar dan proses demokratisasinya melalui pilkada yang bebas dan langsung wajib didukung. Selain adanya harapan publik Jakarta bahwa pemimpin Jakarta harus bisa menjadikan Jakarta sebagai kota yang lebih baik untuk penghuninya, ada harapan besar juga dari seluruh rakyat Indonesia bahwa pemimpin Jakarta bisa mendudukkan Jakarta sebagai ibukota yang membanggakan dalam jajaran kota-kota besar sedunia.

Mengelola kota seperti Jakarta, dimana pertumbuhan ekonominya merupakan yang terpesat di dunia, tetapi dengan kesenjangan kesejahteraan yang juga begitu besar, bukan soal mudah. Gubernur terpilih harus bisa membuat rencana aksi yang masuk akal untuk menyebar daerah pertumbuhan di Jakarta, sehingga dapat menyebar ke seluruh pelosok Jakarta. Gubernur juga harus mampu membuat langkah pasti yang menjamin Jakarta tidak akan tenggelam dan banjir lagi.

Gubernur harus bisa memulai proyek-proyek angkutan secara masif sehingga Jakarta tidak macet lagi. Jakarta memiliki semua modal untuk melakukannya: UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, para perencana kota yang ahli, akses ke permodalan dan teknologi canggih dalam dan luar negeri, dukungan pemerintah pusat dan para pemangku kepentingan, dan kebutuhan mendesak yang tidak dapat ditunda lagi. Gubernur juga harus mampu mengatasi masalah kesenjangan dan masalah pendidikan, jaminan kesehatan, perumahan, polusi kota, keamanan dan ketertiban serta pengentasan kemiskinan dari 3.6% atau 350.000 penduduknya.

Sebagai kota metropolitan Jakarta tidak mampu menyediakan sarana-sarana publik, ruang dan taman terbuka, hiburan dan rekreasi yang memadai bagi penduduknya, suatu hal yang pasti bisa dilakukan oleh gubernur karena begitu banyak pihak swasta yang bersedia bekerjasama membangun itu. Gubernur juga harus mampu menjadikan Jakarta daerah bebas narkoba yang merusak generasi produktif. Dan gubernur juga harus bisa menjadikan Jakarta zona bebas korupsi, serta menjadikan Jakarta suatu model pembangunan kota yang modern, service center city yang dapat diandalkan untuk di contoh oleh kota-kota lain di Indonesia yang segera meledak karena pertumbuhan ekonomi daerah.

Dari debat para kandidat gubernur, jelas bahwa masih banyak keraguan publik akan kemampuan kandidat untuk mewujudkan hal-hal tersebut. Banyak janjinya tidak didukung oleh fakta-fakta lapangan dan rencana konkrit. Suatu hal yang pasti, Jakarta tidak bisa menunggu. Semua itu perlu dilakukan serentak dan dengan garis komando yang jelas. Sehingga diharapkan gubernur terpilih betul-betul bisa menjadi orang terdepan yang hanya bekerja untuk tujuan-tujuan itu. Kepemimpinan yang bisa mewujudkan rencana aksi mutlak dibutuhkan, bukan sekedar misi dan visi atau wacana lagi. Memimpin Jakarta sekarang ini seperti memimpin negara dalam krisis, karena rencana sudah berada di belakang kenyataan yang ada.

Rakyat Jakarta hanya diberi dua pilihan kandidat yang sulit untuk dipilih. Dalam kondisi normal, maka rakyat punya pilihan untuk memilih kandidat yang tidak akan membawa Jakarta ke kondisi yang lebih buruk lagi. Tetapi kondisi Jakarta sekarang tidak memungkinkan adanya toleransi atas mentalitas tunda itu lagi. Kita butuh perbaikan sekarang juga. Besok, tanggal 20 September, merupakan saat yang krusial yang menentukan nasib Jakarta dan penduduknya lima tahun kedepan, dan sedikit banyak menentukan juga wajah Indonesia ke depan.

Melihat kualitas kampanye selama beberapa minggu terakhir, yang menjadi kekhawatiran terbesar kita adalah pelajaran pelaksanaan demokrasi yang terjadi di Jakarta, yang mencoreng demokrasi itu sendiri, yaitu penggunaan isu SARA dan kampanye hitam lainnya. Itu sungguh suatu kemunduran besar. Model seperti ini dengan mudah bisa direplikasi oleh daerah-daerah lainnya, dan mungkin juga pemilu 2014. Anomali ini, yaitu tidak sejajarnya perkembangan proses demokratisasi dengan isinya, dalam hal ini pemilihan yang bebas dan langsung yang disi oleh kampanye SARA, mirip dengan anomali Indonesia yang demokratis dengan tingkat korupsi yang tinggi.

Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia harusnya menjadi negara yang paling menghargai perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan. Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia seharusnya menjadi negara paling bersih dari KKN. Kalau Jakarta dipimpin oleh gubernur yang melakukan atau mentolerir praktik anti SARA, maka wajah ini juga yang akan mewarnai Jakarta ke depan, bahkan Indonesia ke depan. Publik berharap bahwa untuk masalah sepenting ini seharusnya pemimpin nasional memberikan posisinya dan bagaimana harusnya sebagai bangsa kita bersikap. Ternyata itu tidak terjadi. Kita ternyata tidak hanya menghadapi masalah kepemimpinan daerah, tetapi juga nasional. Kita tidak hanya dihantui oleh kwalitas pilkada Jakarta, tetapi terancam untuk dihantui oleh kualitas pemilu 2014.

Selamat mencoblos, gunakan hati nurani anda.

Ats
Jakarta, September 2012

Tags: