Advokat Gugat UU Bantuan Hukum
Utama

Advokat Gugat UU Bantuan Hukum

Pemohon diminta fokus pada pengujian pasal yang benar-benar merugikan hak konstitusional.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Advokat gugat UU Bantuan hukum. Foto: Sgp
Advokat gugat UU Bantuan hukum. Foto: Sgp

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi sejumlah pasal dalam UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang diajukan oleh 10 advokat.  Kesepuluh advokat itu adalah Dominggus Maurits Luitnan, Suhardi Somomoelyono, Abdurahman Tardjo, TB Mansyur Abubakar, Malkam Bouw, Paulus Pase, LA Lada, Metiawati, A Yetty Lentari, dan Shinta Marghiyana.

Spesifik, mereka memohon pengujian Pasal 1 ayat (1), (3), (5), (6); Pasal 4 ayat (1), (3); Pasal 6 ayat (2), (3) huruf a, b; Pasal 7; Pasal 8 ayat (1), (2) huruf a, b; Pasal 9;  Pasal 10 huruf a, c; Pasal 11; Pasal 15 ayat (5); dan Pasal 22 UU Bantuan Hukum.

“Beberapa pasal dalam UU Bantuan Hukum sangat merugikan para pemohon selaku advokat,” kata salah satu pemohon, Dominggus Mauritis saat membacakan permohonannya di hadapan majelis panel yang diketuai Anwar Usman di Gedung MK, Jum’at (21/9).

Dia menjelaskan kerugian itu terletak antara lain tentang frasa “bantuan hukum” yang menyangkut pemberi dan penerima bantuan hukum. Ia menilai frasa bantuan hukum atau jasa hukum sama dengan penasihat hukum yang digunakan sejak berlakunya Pasal 56 ayat (2) KUHAP. Lalu istilah penasihat hukum ditambah konsultan hukum, dilebur menjadi istilah advokat seperti termuat dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

“Jadi istilah bantuan hukum sama saja dengan advokat. Para pemohon telah dilindungi oleh UU Advokat, namun muncul UU Bantuan Hukum yang dalam menjalankan tugas profesinya sama dengan UU Advokat, sehingga muncul dua produk hukum yang saling tumpang tindih,” katanya.

Dalam Pasal 1 ayat (5), (6) dijelaskan standar pemberian bantuan hukum ditetapkan oleh menteri (Menteri Hukum dan HAM, red) dengan persyaratan berbadan hukum sesuai Pasal 8 ayat (2). Pasal itu tidak memberikan jaminan, perlindungan hukum yang adil karena pembentukan standar bantuan hukum seharusnya dilakukan organisasi profesi advokat (Komite Kerja Advokat Indonesia/KKAI) bukan oleh menteri.

Selain itu, dosen, mahasiswa fakultas hukum, atau organiasi masasyarakat (LSM) diberi wewenang untuk bisa beracara di dalam maupun di luar sidang. Hal itu diatur  dalam Pasal 9 huruf a jo Pasal 1 ayat (3) UU Bantuan Hukum. Sebab, pemberi jasa bantuan hukum adalah advokat sesuai Pasal 38 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan aparat penegak hukum.

“Itu tidak adil dan merugikan hak-hak konstitusional para pemohon karena dapat terjadi benturan kepentingan dengan mengambil alih peranan advokat yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2) UUD 1945. Bahkan, menteri dapat mengawasi advokat, ini bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UU Advokat.”         

Adanya dualisme penyelenggaraan pendidikan bantuan hukum yang diselenggarakan lembaga bantuan hukum, organisasi masyarakat/LSM dan organisasi profesi, seperti diatur Pasal 10 huruf c UU Bantuan Hukum. “Ini sangat kontradiktif dengan organisasi profesi advokat yang menyelenggarakan pendidikan khusus advokat seperti diamanatkan Pasal 2 ayat (1) UU Advokat,” jelasnya.

Soal anggaran bantuan hukum, menurut dia seharusnya pengelolaan anggaran bantuan hukum dikelola oleh orqanisasi profesi advokat (KKAI yang mewadahi 8 organisasi advokat) karena mengacu pada Pasal 22 ayat (1), Pasal 2 PP No. 83 Tahun 2008, advokat dilarang menolak perkara. “Bukan dikelola Kementerian Hukum dan HAM,” tandasnya.   

Karena itu, lanjutnya, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 1 ayat (1), (3), (5), (6); Pasal 4 ayat (1), (3); Pasal 6 ayat (2), (3) huruf a, b; Pasal 7; Pasal 8 ayat (1), (2) huruf a, b; Pasal 9;  Pasal 10 huruf a, c; Pasal 11; Pasal 15 ayat (5); dan Pasal 22 UU Bantuan Hukum karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2) UUD 1945.

Menanggapi permohonan ini, Anwar Usman Anwar menyarankan pemohon agar lebih fokus pada pasal yang benar-benar merugikan hak konstitusional para pemohon selaku advokat.  “Saudara seharusnya lebih menjelaskan letak kerugian konstitusional. Sepertinya, argumentasi yang disampaikan lebih banyak terkait masalah penafsiran,” kritiknya.

Anggota majelis panel, Hamdan Zoelva mengaku secara umum sistematika permohonan sudah baik. Namun, secara substansi jika permohonan ini dikabulkan UU Bantuan ini kehilangan nyawanya.

“Permohonan ini luar biasa kalau dikabulkan, UU Bantuan Hukum itu akan habis semua karena yang diuji pasal-pasal pokok yang merupakan ‘jantungnya’ UU Bantuan Hukum,” kata Hamdan.

Hamdan juga mempertanyakan dalam permohonan pemohon bahwa advokat dan pemberian bantuan hukum adalah dua entitas yang berbeda. “Memang dalam UU Advokat, advokat bisa memberikan bantuan cuma-cuma itu bisa dikatakan mandiri. Namun, jika dalam UU Bantuan Hukum dibawah pengawasan menteri itu kan wajar karena menteri yang punya dana bantuan hukum. Ini mesti Saudara pikirkan,” pintanya. 

Tags: