MK Pangkas Izin Pemeriksaan Kepala Daerah
Utama

MK Pangkas Izin Pemeriksaan Kepala Daerah

Perlakuan khusus kepada pejabat negara perlu, tetapi tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN/NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit
MK pangkas birokrasi izin pemeriksaan kepala daerah. Foto: Sgp
MK pangkas birokrasi izin pemeriksaan kepala daerah. Foto: Sgp

Satu lagi tintas emas sejarah penegakan hukum ditorehkan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang pembacaan putusan pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Mahkamah menyatakan sebagian materi pasal 36 UU Pemda – ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) -- bertentangan dengan konstitusi, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Rumusan yang dinyatakan tidak berlaku justru mengenai izin presiden untuk pemeriksaan kepala daerah. Mahkamah Konstitusi menegaskan izin presiden untuk tahap penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana tidak dibutuhkan. Meskipun seorang kepala daerah atau wakilnya diselidiki atau disidik, proses hukum itu tidak menghalangi yang bersangkutan menjalankan tugas.

Hanya penahanan yang membatasi ruang gerak kepala daerah. Sehingga, menurut Mahkamah, izin presiden tetap dibutuhkan untuk menahan kepala daerah. “Masih diperlukan adanya persetujuan tertulis dari presiden terhadap tindakan penahanan,” demikian Mahkamah dalam pertimbangannya.

Sebaliknya, untuk penyelidikan dan penyidikan, izin presiden tidak perlu. Mahkamah berpendapat persetujuan tertulis dari presiden pada tahap penyelidikan dan penyidikan kepala daerah ‘tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup’. “Persetujuan tertulis dari presiden tidak boleh menjadi hambatan bagi proses penyelidikan dan penyidikan,” jelas Mahkamah dalam putusan.

Tak hanya menghapuskan izin presiden untuk penyidikan dan penyelidikan, Mahkamah juga memangkas batas waktu persetujuan tertulis dari presiden. Sebelumnya pasal 36 ayat (2) UU Pemda memberi batas waktu 60 hari bagi presiden. MK memangkas batas waktu itu menjadi 30 hari. Menurut Mahkamah, proses penegakan hukum harus sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.

Oleh karena aturan tentang izin pemeriksaan bagi anggota DPRD juga tercantum dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Mahkamah meminta pembentuk Undang-Undang melakukan penyesuaian dengan putusan ini.

Diskriminasi
Wakil Jaksa Agung, Darmono, menyambut baik putusan MK karena selama ini ada diskriminasi praktik hukum. “Kami menyambut baik. Dengan demikian tidak ada lagi diskriminasi hukum antar penyidik di Indonesia,” ujarnya. “Seharusnya memang seperti itu”.

Sinyalemen Darmono tentang diskriminasi itu juga menjadi bagian dari pertimbangan hakim. Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan keterangan tertulis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam keterangannya, KPK menegaskan izin dari presiden telah menghambat proses peradilan.

Ketika melakukan koordinasi dan supervisi ke Kepolisian dan Kejaksaan, KPK mendapat banyak laporan tentang kendala penanganan perkara lantaran izin presiden belum turun. Selain itu, jika KPK meminta bantuan polisi untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan terhadap kepala daerah tertentu, kepolisian tak bisa bertindak kalau tak ada persetujuan tertulis presiden. “Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 jelas menjamin bahwa sistim peradilan di Indonesia harus bebas dari intervensi,” tegas Mahkamah pada halaman 73 putusan.

Tags: