MK Diminta Hapuskan Syarat Pendirian Parpol
Berita

MK Diminta Hapuskan Syarat Pendirian Parpol

Majelis panel meminta pemohon memperkuat argumentasi konstitusional permohonan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Majelis panel MK gelar sidang perdana tentang Partai Politik dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. Foto: Sgp
Majelis panel MK gelar sidang perdana tentang Partai Politik dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. Foto: Sgp

Majelis panel Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) yang dimohonkan Jamaludin dan Andriyani.    

Spesifik, pemohon meminta MK menguji konstitusionalitas Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (2) huruf c UU Partai Politik dan Pasal 8 ayat (2) huruf b, c, dan d UU Pemilu Legislatif. Pasal-pasal itu mengatur syarat Parpol nasional harus memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, 75 persen di kabupaten/kota, dan 50 persen di kecamatan.

“Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal itu atau setidaknya akan kehilangan hak untuk berorganisasi untuk mendirikan partai politik yang berbadan hukum dan berbasis masyarakat di daerah, akibat syarat menjadi partai politik berbadan hukum terus diubah oleh pembuat undang-undang,” kata kuasa hukum pemohon, Iskandar Zulkarnaen dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin Hamdan Zoelva di Gedung MK, Senin (8/10).

Sementara, Pasal 1 angka 1 UU Parpol menyebutkan Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 RI Tahun 1945. 

Menurut Iskandar, keberadaan partai-partai politik yang memenangi perolehan suara di DPRD adalah fakta bahwa dukungan politik masyarakat lokal tak selalu sejajar (linier) dengan dukungan terhadap partai yang sama yang ada di level nasional (DPR). Akibatnya, hak masyarakat lokal terabaikan dengan ketentuan itu.

“Misalnya, Partai Bintang Reformasi dan Partai Bulan Bintang yang tidak memiliki kursi di DPR, tetapi dapat merebut kursi di DPRD,” katanya.  

Akibatnya, tutur Iskandar, urusan politik dalam negeri menjadi tersandera oleh sistem kepartaian yang bersifat nasional. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa mekanisme pembentukan pemerintahan di ranah eksekutif dan legislatif. Misalnya, pencalonan anggota legislatif atau calon kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

“Kendati undang-undang secara tegas menyatakan pencalonan ditentukan oleh pengurus partai politik di tingkatannya masing-masing. Namun, kenyataannya proses pencalonan mesti melalui mekanisme berjenjang dan ditentukan oleh kepengurusan partai di tingkat pusat,” bebernya.

Menurutnya, ketentuan Pasal Pasal 3 ayat  (2)  huruf c UU Partai Politik dan Pasal 8 ayat  (2) huruf b, c, dan d UU Pemilu Legislatif berpotensi menciderai hak setiap orang untuk mengeluarkan pikiran dan bergabung dengan organisasi secara bebas. Hal itu bertentangan dengan tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum bagi warganegara.  

Keberadaan ketentuan itu akan menyebabkan terjadinya aliansi massa awam dari alam kehidupan politik formal karena tidak tertarik dengan partai bersifat nasional. Pada gilirannya menjadi hambatan dalam memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara, dengan cara tidak ikut berpartisipasi dalam Pemilu (golput).

Semestinya, UU Pemilu Legislatif membuka kemungkinan untuk menghadirkan partai politik berskala lokal dengan tidak memaksakan persyaratan kepengurusannya secara nasional sebagai prasyarat mengikuti pemilu. Dalam petitumnya, pemhon meminta MK membatalkan frasa “bersifat nasional” dalam Pasal 1 angka 1 UU Parpol karena bertentangan dengan UUD RI 1945. 

“Menyatakan Pasal 3 ayat  (2) huruf c UU Partai Politik dan Pasal 8 ayat  (2) huruf b, c dan d UU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat,” pintanya. 

Hamdan menilai inti permohonan ini adalah pemohon meminta dimungkinkannya eksistensi partai lokal dengan menghapuskan partai nasional. “Coba Saudara pikirkan, kenapa Partai lokal di Aceh bisa ada? Saudara bisa memperkuat argumentasi, dalam hal apa dimungkinkannya partai lokal itu,” sarannya.

Anggota panel hakim, M. Akil Mochtar mengatakan Pasal 3 ayat (2) UU Parpol itu sudah pernah diputus MK. Menurutnya, kalau pemohon meminta penghapusan frasa “bersifat nasional” itu, maka partai itu tidak lagi mempunyai pengertian partai bersifat nasional.

“Parpol itu kan bersifat nasional, Saudara ingin menghilangkan itu. Saudara harus bangun argumennya bahwa setiap orang di daerah berhak mendirikan parpol. Permohonan ini belum terlihat. Untuk presentasi kenapa 75 persen presentase itu telah merugikan Saudara, jelaskan kerugiannya dimana. Argumentasinya masih kurang, terutama argumentasi konstitusional,” kritiknya.

Tags: