M. Idwan Ganie:
Mahasiswa Hukum Harus Cinta Ilmu Hukum
Profil

M. Idwan Ganie:
Mahasiswa Hukum Harus Cinta Ilmu Hukum

Pendidikan hukum di Indonesia masih kurang membekali mahasiswa dengan keterampilan dasar praktisi hukum.

Oleh:
RZK/M-13
Bacaan 2 Menit
M Idwan Ganie terpilih sebagai dosen hukum terfavorit dalam Melek Hukum Award. Foto: Sgp
M Idwan Ganie terpilih sebagai dosen hukum terfavorit dalam Melek Hukum Award. Foto: Sgp

Berkantor di salah satu lokasi paling strategis di Jakarta, berpakaian necis dan berkelas, plus mengendarai mobil mewah, orang pasti tidak akan meragukan kesuksesan seorang M. Idwan Ganie sebagai advokat. Itu baru soal penampilan, belum lagi jika kita menengok penghargaan nasional dan internasional yang diraih pria kelahiran Amsterdam, Belanda itu.

April 2012 lalu, misalnya, Kiki Ganie, begitu dia akrab disapa, dinobatkan sebagai “One of the World’s 100 Leading Lawyers” oleh Lawyer Monthly, sebuah terbitan dan laman internet di Inggris. Ini adalah kali kedua Kiki Ganie dinobatkan sebagai “One of the World’s 100 Leading Lawyers” oleh Lawyer Monthly.

Di balik kesuksesannya sebagai advokat, tidak banyak khalayak yang mengetahui bahwa Kiki Ganie sebenarnya juga adalah seorang pengajar. Ya, setiap Kamis, di sela-sela kesibukannya sebagai advokat, Kiki Ganie menyempatkan diri berkunjung ke Kampus FHUI di Depok, Jawa Barat. Pria yang khas dengan kepala plontosnya ini mengasuh mata kuliah Penelusuran Literatur dan Penulisan hukum atau populer disebut Legal Opinion.

Diceritakan Kiki Ganie, dirinya mulai resmi mengajar sejak tahun 1986-1987. Kala itu, Dekan FHUI –berdasarkan informasi laman resmi FHUI, dekan pada periode itu adalah Mardjono Reksodiputro- meminta Kiki Ganie untuk mengajar. Meskipun sempat menimbang-nimbang, Kiki Ganie memenuhi permintaan pimpinan fakultas almamaternya itu.

Namun, berbeda dengan jenjang karier dosen kebanyakan, Kiki Ganie langsung menjadi dosen tanpa melewati jenjang asisten dosen. Sejak itu, Kiki Ganie memiliki dua dunia yang harus dijalani, dunia advokat dan mengajar.

Uniknya, meskipun sebagian besar waktu hidupnya dihabiskan untuk profesi advokat, Kiki Ganie justru mengaku lebih jatuh cinta pada profesi dosen. Lantaran jatuh cinta, Kiki Ganie pun tidak menganggap profesi dosen yang dia jalani sebagai profesi sampingan. Artinya, Kiki Ganie tetap menjalaninya dengan serius.

Salah bentuk keseriusan itu, Kiki Ganie berupaya keras agar kuliah yang diasuhnya menarik bagi mahasiswa. Caranya beragam mulai dari memberikan insentif untuk mahasiswa yang aktif bertanya dan menjawab, hingga menghadirkan pembicara tamu. Hasilnya ternyata cukup positif. Kuliah Legal Opinion selalu penuh dengan mahasiswa, baik yang secara resmi mengambil mata kuliah itu maupun yang tidak.

Hasil positif lainnya, melalui ajang pemilihan “Melek Hukum Award” yang diselenggarakan www.hukumonline.com dan www.kaskus.co.id, Kiki Ganie terpilih sebagai dosen hukum terfavorit. Kiki berhasil menyisihkan sejumlah nama terkenal seperti Prof. Hikmahanto Juwana (ahli hukum Internasional), Prof. Jimly Asshiddiqie (mantan Ketua MK), dan Eman Suparman (Ketua KY). Acara penyerahan “Melek Hukum Award” digelar di Kampus FHUI, Depok, 12 September 2012 lalu.

Untuk mengetahui lebih dalam kiprah Kiki Ganie sebagai dosen, hukumonline berkesempatan mewawancarai advokat yang selalu berpakaian necis itu di ruang kerjanya di kantor LGS, Menara Imperium, Jakarta. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana perasaannya terpilih menjadi dosen hukum terfavorit? 

Senang, humble (rendah hati, red), dan ada beban juga. Berarti ada yang disenangi mahasiswa, dan itu harus dipertahankan, ditingkatkan lagi. Ada kebanggaan juga untuk almamater.

Apa makna dosen favorit menurut Anda? Apakah dosen favorit serta merta juga berarti dosen yang baik?

Saya kira menjadi favorit itu salah satu unsurnya menjadi dosen yang baik. Menjadi dosen favorit adalah satu entry point yang baik karena kalau tidak senang dengan dosennya, dengan ilmunya, tidak mungkin menjadi baik hasilnya. Mungkin saja dosen yang disenengi itu bisa membawanya lebih dekat kepada ilmu yang dipelajari.

Salah satu alasan mahasiswa yang memilih Anda sebagai dosen terfavorit, karena metode mengajar Anda yang suka membagi-bagikan hadiah berupa tiket konser?

Ada banyak pertimbangannya. Pada dasarnya kan orang senang diberi hadiah. Tetapi, salah satunya pertimbangannya, hadiah itu saya anggap sebagai kado bagi generasi baru lawyer Indonesia, dalam arti lawyer secara umum. Apapun profesi hukumnya bagi saya itu lawyer, tidak hanya advokat. Saya ingin menciptakan situasi yang lebih dekat ke kehidupan sebenarnya. Bahwa kita bekerja itu sesungguhnya untuk mencari nafkah. Ada reward-nya, ini bisa juga menjadi perangsang untuk menekuni profesinya dan belajar ilmu hukum. Jadi, bisa senang dengan hukum, juga senang dengan hasilnya sehingga kita melakukan apa yang kita sukai.

Tetapi, hadiah-hadiah ini konteksnya reward, bukan diobral. Hadiah ini diberikan kepada mahasiswa yang menjawab pertanyaan dengan benar. Kenapa tiket konser musik? Sebenarnya sulit untuk menemukan hadiah yang menarik bagi kebanyakan mahasiswa. Musik itu biasanya menarik, konser menarik.

Saya tidak pernah mengalokasikan anggaran khusus setiap tahunnya untuk menyediakan hadiah-hadiah itu. Namun, setiap tahun, saya memikirkan hal yang baru agar perkuliahannya menjadi menarik untuk mahasiswa.

Alasan lainnya yang dikemukakan mahasiswa yang memilih Anda adalah soal pembicara tamu yang dihadirkan dalam perkuliahan. Kalau ini, apa pertimbangannya?

Kalau lawyer diibaratkan sebagai dokter, kita selalu berbicara dari sisi kedokterannya saja. Sekali-kali kan menarik juga untuk menghadirkan pasien atau user-nya. Tujuannya juga, untuk membangun semangat hidup, semangat belajar, dan semangat masa depan.

Saya tidak pernah melihat jabatan ketika menghadirkan guest speaker, tetapi yang paling high profile yang pernah saya hadirkan adalah Sandiago Uno (pengusaha muda, pernah tercatat sebagai orang terkaya nomor 29 di Indonesia versi Majalah Forbes, 2009, red.). Dia kan semacam business man gaya baru, yang datang dari keluarga kelas menengah, dan masih pula.

Salah satu tema dalam kuliah saya adalah “kita tidak mungkin mempelajari sesuatu dengan baik, kecuali kita cinta dengan apa yang kita pelajari”. Jadi, sebelum masuk ke substansi atau materinya, mungkin harus mencari kiatnya terlebih dahulu bagaimana mencintai ilmu hukum ini yang selalu dianggap sebagai ilmu yang paling susah. Makanya, kita harus bisa jatuh cinta kepada ilmu hukum yang secara otomatis sebetulnya tidak menarik. Pertanyaan saya di awal-awal kuliah, “siapa yang cinta ilmu hukum?”, tidak ada yang mengangkat tangan. Mungkin hanya satu atau dua.

Jadi, ilmu hukum itu tidak menarik bagi anda? Lalu apa yang membuat anda memilih fakultas hukum?  

Saya tidak pernah bilang ke mahasiswa bahwa saya dari dulu waktu kecil sudah mau menjadi lawyer. Tidak, ini masuk (fakultas hukum, red.) saja bukan pilihan utama saya. Terus setelah lulus pun saya belum senang juga dengan ilmu hukum ini. Jadi, jatuh cintanya ini baru belakangan.

Yang harus dipahami, ilmu hukum itu sebenarnya bukan sekadar peraturan karena peraturan itu selalu berubah. Sebelum mereka lulus pun, peraturannya bisa-bisa sudah tidak berlaku lagi. Yang penting itu adalah logika, fakta, dan integritas. Jadi yang saya mau ajarkan itu bukan isi peraturan.

Kan ada pepatah mengatakan “If you give man a fish, you give him food for a day, if you give man how to fish, you give him food for lifetime”. Yang terakhir itu yang mau saya aplikasikan ke ilmu hukum. Kalau saya kasih fish itu berarti saya hanya mengajarkan peraturan saja yang saat mahasiswa lulus mungkin sudah tidak ada lagi peraturannya.

Soal metode mengajar seperti ini, dari mana dapat idenya? Apakah ada yang menginspirasi anda?

Inspirasi sepertinya tidak ada. Tetapi, kalau ditanya darimana dapatnya mungkin dari dosen promotor saya sendiri di Jerman yang mengajar tidak semata-mata mengenai peraturan. Beliau adalah salah satu yang dianggap paling pintar di Jerman, dan dia salah satu yang termuda saat itu. Namanya, Prof. Karsten Schmidt. Kalau dari Indonesia, Prof. Soerjono Soekanto, menurut saya, cara mengajarnya juga agak lain. Caranya, saya suka.

Sebenarnya banyak unsur untuk menjadi kuliah itu menarik. Pertama, ilmunya itu sendiri. Kedua, cara penyajian. Lalu, tidak mau terlalu membebankan mahasiswa. Jangan sampai cara mengajar sedemikian rupa sehingga mahasiswa ketiduran. Saya memperhatikan benar, bahwa orang normal itu atau orang paling cerdas pun untuk konsentrasi lebih dari 10 menit. Jadi, diantaranya harus ada intermezzo-nya supaya untuk yang berikutnya bisa konsentrasi lagi.

Metode mengajar dengan cara memberikan insentif ini mulai diterapkan kapan?

Mungkin sekitar tahun 2000-an cara mengajar saya berubah, kalau insentif lebih belakangan lagi. Tetapi kalau bicara soal kelas saya penuh, sebenarnya sudah terjadi sebelum model insentif diterapkan. Jadi, sejak kita membicarakan hukum bukan sekadar peraturan-peraturan, karena dulu saya juga seperti itu (mengajar hanya soal peraturan, red.), termasuk yang konvensional.

Sebagai dosen, bagaimana penilaian anda terhadap kualitas pendidikan tinggi hukum di Indonesia?

Ilmu hukum itu sebenarnya gampang. Artinya, dari dulu sampai sekarang tidak ada yang berubah. Itu-itu saja. Ilmu hukum itu adalah ilmu tentang logika dan cara berpikir. Dan itu dibarengi dengan beberapa skill, bukan ilmu. Yang dari dulu sampai sekarang juga sama. Seperti ahli matematika, kita pakai otak kiri. Tidak menggunakan otak kanan, yang kreatif. Mungkin itu yang membuat ilmu hukum itu tidak menarik.

Saya juga sering bercanda “setuju nggak kalau kita nggak usah lulus SMA, kita dari SMP kelas 2-3 langsung fakultas hukum pun bisa”. Tidak ada satu hal penting pun di SMA yang kita perlukan untuk belajar hukum. Karena hukum sejak 6000 tahun yang lalu there’s nothing new. Tidak ada inovasi di dalam ilmu hukum, tetapi dalam cara mempraktikkannya. Makanya, tidak ada penghargaan Nobel untuk hukum.

Yang penting itu skill, kalau skill itu tidak ada bakal sulit. Kalau dia hafal peraturan tetapi begitu lulus peraturannya sudah diganti oleh DPR. Bagaimana mau bersaing di tingkat global, atau regional? Idealnya, sebanyak mungkin skill diberikan di fakultas. Nanti, sebagian lagi penyempurnaan di dunia praktik. Kalau bicara kurikulum ya standar-standar saja, porsi keterampilannya yang kurang.

Skill di dunia hukum kan di seluruh dunia sudah baku. Pertama, kita harus bisa memecahkan masalah. Kalau tidak ada masalah, mungkin tidak perlu pengacara. Kedua, kita harus bisa negosiasi. Anehnya, mata kuliah negosiasi justru ada di fakultas psikologi. Ketiga, kita harus bisa counselling. Klien itu datang pada dasarnya kepentingannya cuma satu yaitu “dengerin cerita saya”. Setelah itu, dia baru bertanya “apa yang harus saya lakukan?” klien tidak akan bertanya “pasal berapa”, tetapi “apa yang harus saya lakukan?”

Integritas sepertinya menjadi masalah besar di dunia hukum, sejauh mana peran kampus dalam membentuk integritas lulusannya?

Biasanya, hal pertama yang saya bahas di kuliah itu soal integrity. Saya selalu kasih contoh, misalnya anda bekerja di lawfirm, lalu di hari pertama langsung mendapat tugas mengambil putusan. Sebenarnya ini pekerjaan mudah, tetapi ketika mau ambil anda harus bayar Rp10 ribu. Pertanyaannya, “apa yang anda akan lakukan?” Pulang tanpa hasil atau bayar untuk dapat putusan itu?

Kita harus hati-hati sama yang Rp10 ribu itu. Jadi, kuncinya saat pertama kali itu. Begitu melakukan, selanjutnya hanya menjadi rutinitas. Saya berpikir kalau pengacara melakukan korupsi, maka suatu saat nanti dia juga bisa di-bribe. Prinsipnya kita harus tough (tangguh) tetapi tidak boleh rough (kasar). Saya pikir, kampus masih bisa mengajarkan integritas. Setidaknya di kampus, masih bisa damage control (mengendalikan kerusakan).

Tags: