Baznas dan Laz Seharusnya Terintegrasi
Berita

Baznas dan Laz Seharusnya Terintegrasi

Pemohon menilai UU Pengelolaan Zakat hanya menguntungkan Kementerian Agama, tidak menguntungkan masyarakat dan LAZ.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Baznas dan Laz Seharusnya Terintegrasi
Hukumonline

Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Amil Zakat (Laz) seharusnya menjadi ‘satu tubuh’, satu-kesatuan dalam pengelolaan dan pendistribusian zakat dimana Baznas berperan sebagai koordinator. Karena itu, peran dan fungsi Baznas dan LAZ dalam mengelola zakat tidak boleh dipandang secara terpisah demi efektivitas pengelolaan dan penyaluran zakat.

Pandangan itu disampaikan Dosen Ekonomi Syarif Institut Pertanian Bogor (IPB) Irfan Syauqi, saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (24/10).

Irfan mengatakan BAZNAS dan LAZ seharusnya diposisikan dalam satu jalur koordinasi untuk menciptakan sistem pengelolaan zakat yang terintegrasi. Menurut dia, integrasi itu diperlukan untuk keberhasilan pengumpulan dan penyaluran zakat lebih tepat sasaran terhadap delapan ashnaf (delapan golongan yang berhak menerima zakat).

“Indikator keberhasilan pembangunan zakat dan keberhasilan lembaga zakat bukan ditentukan seberapa banyak dana yang berhasil dihimpun. Namun, seberapa besar keberhasilan penyaluran dan pendayagunaan zakat dalam upaya pengentasan kemiskinan,” kata Irfan.

Menurutnya, pengelolaan zakat seharusnya dianalogikan dengan pengelolaan pajak/fiskal karena ada kemiripan antara instrumen zakat dan pajak yang pengelolaannya dilakukan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

“Aspek legalitas dan integrasi menjadi sangat penting dalam pengelolaan zakat. Makanya,  Baznas dan LAZ harus satu kesatuan, tidak saling berkompetisi dalam pengelolaan zakat,” saran ahli yang sengaja dihadirkan pemerintah ini.

Ia menilai UU Pengelolaan Zakat sudah cukup baik dalam rangka memperbaiki sistem zakat nasional ketimbang undang-undang yang lama (UU No. 38 Tahun 1999). Misalnya, memberi ruang masyarakat mengakses informasi pengelolaan zakat Baznas dan LAZ dan menyampaikan laporan jika ada penyimpangan, adanya audit syariah, dan adanya publikasi laporan melalui media massa.

“Hanya saja sangat penting dibutuhkan peraturan pemerintah yang mengatur pola hubungan yang jelas antara Baznas dan LAZ dan hal-hal strategis lainnya yang perlu didefinisikan secara jelas. Sebagai contoh, kata ‘membantu’ bisa didefinisikan dalam konteksi integrasi dan kesatuan gerak pengelolaan zakat nasional,” jelasnya.   

Hal senada disampaikan ahli lainnya, Ketua Umum Asosiasi BMT se-Indonesia, Aries Mufti. Ia mengatakan apabila Basnaz dan LAZ berada dalam satu jalur koordinasi penyaluran zakat berpeluang lebih tepat sasaran. “LAZ yang ada masih tetap bisa mengelola zakat di bawah koordinasi Baznas, ini untuk menghindari peredaran aset hanya di kalangan tertentu saja,” kata dia.

Karena itu, Aries meminta BAZNAS agar dapat membicarakan kewenangan bersama dengan LAZ. “Hendaknya BAZNAS dan LAZ duduk bersama dengan tujuan supaya memberikan kemaslahatan ke umat,” tutupnya.

Sementara kuasa hukum para pemohon Heru Susetyo menilai UU Pengelolaan Zakat hanya menguntungkan Kementerian Agama, tidak menguntungkan masyarakat dan LAZ. “Tadi ahli pemerintah tidak menyebutkan keuntungan buat LAZ dan bentuk perlindungan, malah tadi dipertegas harus sistem pengelolaan zakat harus sentralisasi, dikelola negara,” kata Heru usai sidang.         

Menurutnya, keberadaan UU Pengelolaan Zakat bentuk peminggiran terhadap peran masyarakat sipil dan LAZ yang sudah eksis selama ini. Pihaknya, sebenarnya tidak menolak berkoordinasi dengan dengan pemerintah dan Baznas, tetapi jangan memonopoli atau mendominasi seolah-olah dikelola negara itu lebih kuat dan lebih transparan. “Itu belum jaminan dan harus dikaji lagi. Yang perlu koordinasi, tetapi tidak dilakukan secara sentralisasi dan diskriminasi. 

Permohonan ini diajukan sejumlah lembaga amil zakat, muzakki (pemberi zakat), dan mustahik (penerima zakat) yang tergabung dalam  Koalisi Masyarakat Zakat Indonesia (Komaz) yang jumlahnya 31 pemohon. Antara lain; Yayasan Dompet Dhuafa, Yayasan Dana Sosial Al-Falah Malang, Yayasan Yatim Mandiri, Yayasan Rumah Zakat Indonesia, Yayasan Portal Infaq, Fadlulah (muzakki), Asep Supriyatna (mustahik). 

Mereka memohon pengujian Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38, Pasal 41 UU Pengelolaan Zakat. Para pemohon menilai UU Zakat berpotensi mematikan peran LAZ masyarakat baik di tingkat nasional maupun daerah. Misalnya, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 UU Pengelolaan Zakat menyebutkan hanya Baznas yang berhak mengelola zakat di Indonesia (sentralisasi). LAZ sifatnya hanya membantu Baznas.

Menurutnya, berlakunya UU Pengelolaan Zakat itu tidak hanya merugikan para pemohon, tetapi juga seluruh warga negara Indonesia yang selama ini telah banyak terbantu dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan LAZ. Karenanya, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (2), (3), Pasal 28H UUD 1945.

Tags: