Mencari Hakim yang Bukan Sekadar la Bouche de la Loi
Berita

Mencari Hakim yang Bukan Sekadar la Bouche de la Loi

Puluhan tahun bergelut menangani perkara tak membuat seorang hakim paham semua masalah hukum. Hal-hal kecil sering terlupakan.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Salah seorang kandidat hakim agung saat seleksi calon hakim agung (CHA) di KY. Foto: Sgp
Salah seorang kandidat hakim agung saat seleksi calon hakim agung (CHA) di KY. Foto: Sgp

Potret itulah yang terlihat dalam seleksi calon hakim agung (CHA) di Komisi Yudisial. Selama empat hari, 26 sampai 29 November 2012, sembilan anggota panel Komisi Yudisial melakukan wawancara terbuka kepada 19 kandidat hakim agung. Beberapa pertanyaan yang diajukan panelis sama, tetapi kemampuan kandidat untuk menjawabnya berbeda-beda.

Suparman Marzuki, komisioner Komisi Yudisial, berusaha menggali pengetahuan CHA tentang kode etik hakim. Salah satu pertanyaan yang sering diajukan adalah: apakah calon tahu Bangalore Principles. Bangalore Principles of Yudicial Conduct tercantum jelas dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim yang disusun Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial (2009), dan kini menjadi dasar kode etik hakim.

Tetapi, M. Jusran Thawab, hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tak mampu menjawab pertanyaan Suparman. “Belum pernah dengar,” ujarnya singkat. Suparman penasaran atas jawaban itu karena Jusran sudah puluhan tahun menjadi hakim: Apa tidak ada gambaran sama sekali?. “Kalau principles, artinya prinsip,” jawab Jusran.

Kandidat yang berlatar belakang akademisi tak jauh beda. “Saya tidak tahu Bangalore Principles,” kata Mohammad Din, akademisi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, yang juga mencalonkan diri.

Sama halnya ketika panelis Saldi Isra meminta penjelasan CHA tentang istilah concurring opinion. Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta Hamdi dan hakim tinggi Pengadilan Tinggi Makassar, Yakub Ginting, mengaku tak tahu maksud istilah itu. Hamdi hanya mengenal istilah dissenting opinion.

Kali lain panelis Taufiqurrohman Syahuri menanyakan posisi putusan peradilan adat dalam perkara pidana. Apakah putusan adat itu bisa dipakai hakim pidana? Apakah ne bis in idem jika suatu perkara pidana yang sudah diputus peradilan adat dibawa lagi ke peradilan negara? Beberapa kandidat mengatakan hakim harus merujuk pada perundang-undangan yang berlaku.

Jawaban sejumlah CHA bahwa hakim harus mendasarkan semua pertimbangannya pada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengaffirmasi bahwa masih banyak hakim yang legisme alias berpikir sangat positivistik. Ini lazim disebut  hakim sebagai corong atau mulut undang-undang (la bouche de la loi).

Tags: