RUU Pemda dan RUU MA, Pintu Pertama Membenahi Prosedur Pengujian Perda
Kolom

RUU Pemda dan RUU MA, Pintu Pertama Membenahi Prosedur Pengujian Perda

Undang-Undang perlu mengatur pembagian kompetensi pengawasan perda berdasarkan jenis perda antara pemerintah dan MA.

Bacaan 2 Menit
RUU Pemda dan RUU MA, Pintu Pertama Membenahi Prosedur Pengujian Perda
Hukumonline

Pemerintah mengawasi perda retribusi daerah, pajak daerah, APBD dan tata ruang. Perda di luar jenis tersebut, sebaiknya menjadi wewenang MA untuk menguji melalui permohonan judicial review. Selain itu, penunjukan unit khusus untuk melakukan pengawasan perda di tingkat pemerintah dan pemerintah provinsi juga perlu dilakukan untuk mengefektifkan implementasi pengawasan perda secara berjenjang. MA perlu membenahi hukum acara pengujian peraturan perundang-undang, khususnya perda dengan membuat sidang pemeriksaan terbuka, melibatkan para pihak  dan menyerahkan kewenangan pengujian perda kepada pengadilan tinggi.

Berawal dari Permasalahan Regulasi

Saat ini ada dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedang dibahas DPR yang memiliki keterkaitan dengan peraturan daerah yaitu RUU Pemerintahan Daerah (RUU Pemda) dan RUU Mahkamah Agung (RUU MA). Persinggungan antara dua RUU tersebut terletak pada pengawasan peraturan daerah. Selain tentang kedudukan peraturan daerah, RUU Pemda Perda juga mengatur pengawasan perda oleh pemerintah (executive review). Sementara, UU MA mengatur wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, salah satunya Peraturan Daerah (Perda).

Momentum ini perlu dimanfaatkan oleh DPR dan Presiden untuk memperbaiki mekanisme pengawasan perda yang selama ini tidak berjalan secara efektif baik melalui executive review maupun judicial review.

Sejak UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berlaku, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tak pernah lagi mengeluarkan laporan tentang pembatalan perda. Laporan yang dikeluarkan hanya berupa evaluasi yang antara lain menginformasikan perda-perda bermasalah di beberapa daerah. Bukan tindakan Kemendagri membatalkan perda-perda bermasalah tersebut. UU No. 28 Tahun 2009 memang secara tegas mengatur kewenangan pembatalan perda dimiliki oleh Presiden melalui Peraturan Presiden. Berbeda dengan UU No. 34 Tahun 2000 yang mengatur pembatalan perda oleh pemerintah. Kewenangan pembatalan diserahkan kepada Mendagri.

Di satu sisi, dengan adanya ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, kewenangan Kemendagri membatalkan perda pajak daerah dan retribusi daerah menjadi tidak berlaku lagi. Namun di sisi lain, menyerahkan kewenangan pembatalan perda pajak dan retribusi daerah kepada Presiden pun terbukti bukan langkah efektif untuk mengontrol perda pajak dan retribusi daerah.

Hingga kini Presiden belum pernah mengeluarkan Perpres mengenai pembatalan perda pajak dan retribusi daerah. Padahal pada 2011 saja, Kemendagri menemukan 351 perda bermasalah. Apabila UU No. 28 Tahun 2009 diimplementasikan maka Presiden dalam pada 2011 seharusnya mengeluarkan 351 Perpres pembatalan perda.  Pertanyaannya apakah mungkin Presiden akan memproses rancangan Perpres sebanyak itu (bisa lebih) dan bagaimana apabila ada daerah yang melawan pembatalan dan mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung. Presiden akan sangat disibukkan dengan pekerjaan ini.

Permasalahan lain yang muncul, bagaimana dengan status perda bermasalah tersebut apabila tidak ada yang membatalkan? Berdasarkan hasil evaluasi, Kemendagri dapat meminta pemerintah daerah untuk memperbaiki perda tersebut. Namun, bagaimana mengontrol tindak lanjut pemerintah daerah terhadap saran Kemendagri untuk memperbaiki perda apalagi kalau perda tersebut ternyata sudah berlaku. Jelas, masyarakat yang mendapat kerugian atas pemberlakuan perda bermasalah jika tidak dibatalkan atau tidak direvisi.

Tags: