Kejaksaan Memandang Pasal 54 UU Narkotika
Berita

Kejaksaan Memandang Pasal 54 UU Narkotika

Status pecandu sebagai ‘korban’ penyalahgunaan narkotika dipertanyakan.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Seminar UNODC-Kejaksaan Agung mengenai penerapan diversi Pasal 54 UU Narkotika. Foto: Sgp
Seminar UNODC-Kejaksaan Agung mengenai penerapan diversi Pasal 54 UU Narkotika. Foto: Sgp

Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah wujud perubahan cara pandang terhadap kejahatan yang harus diikuti aparat penegak hukum, termasuk jaksa. Apalagi kemudian pemerintah menindaklanjutinya dengan PP No. 25 Tahun 2011. Jika hakim memutuskan terdakwa pecandu narkotika, maka jaksa punya diskresi untuk tak mengajukan banding.

Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan regulasi yang memungkinkan terdakwa pecandu direhabilitasi secara medis dan sosial bukan hanya sebagai bukti perubahan cara pandang terhadap pelaku kejahatan, tetapi juga wujud komitmen negara. “Itu wujud komitmen negara,” ujarnya di Jakarta, Rabu (19/12).

United Nations Office on Drugs and Crime(UNODC) bekerjasama dengan Kejaksaan Agung mengundang jaksa-jaksa dan aparat penegak hukum lain untuk membahas penerapan diversi bagi pecandu narkotika. Penerapan diversi ini dibahas lantaran kecenderungan meningkatnya pengguna narkotika di Indonesia. Kajian Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Universitas Indonesia, seperti dikutip Basrief memprediksi 5,1-5,6 juta orang pengguna narkotika pada 2015 mendatang. Saat ini, pecandu yang direhabilitasi masih sekitar 18 ribu orang.

Secara hukum, penerapan diversi melalui rehabilitasi dimungkinkan Pasal 54 UU Narkotika. Pasal ini malah mewajibkan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika direhabilitasi secara medis dan sosial. Inilah yang dimaksud Basrfief sebagai perubahan cara pandang. Perubahan kebijakan dan cara pandang terhadap pecandu perlu diikuti tindakan nyata oleh aparat penegak hukum. Dikatakan mantan Kajati DKI Jakarta itu, UU Narkotika humanis terhadap pecandu, tetapi keras terhadap bandar.

Basrief mengaku tak menerbitkan peraturan pelaksanaan diversi di lingkungan Kejaksaan. Tetapi berdasarkan penelusuran hukumonline, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum pernah menerbitkan Surat Edaran No. B-136/E/EJP/01/2012 tentang tuntutan rehabilitasi medis dan sosial untuk pecandu narkotika.

Namun, Jaksa Agung Muda Pengawasan, Marwan Effendy, menilai Surat Edaran ini belum lengkap. Terutama sikap jaksa jika hakim memutuskan terdakwa kasus narkotika direhabilitasi. Seharusnya, kata dia, ditegaskan bahwa jaksa tidak perlu banding jika benar-benar terdakwa adalah pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika. Syaratnya, terdakwa benar-benar pecandu, dan tidak ada penyalahgunaan wewenang hakim saat memutus perkara tersebut. Marwan berharap konsep rehabilitasi untuk pecandu tidak disalahgunakan.

Menentukan pelaku (pecandu) narkotika sebagai korban tentu bukan pekerjaan gampang bagi penyidik dan penuntut. Agung Ardyanto, Kasi Pidum Kejari Jakarta Selatan, dalam seminar UNODC-Kejaksaan Agung itu, menunjuk ketidakjelasan definisi ‘korban’ penyalahgunaan narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009.

Untunglah, PP No. 25 Tahun 2011 kemudian memperjelasnya korban sebagai seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Tetapi bagi jaksa, membuktikan unsur dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa atau diancam itu bukanlah perkara gampang. Keyakinan jaksa, kata Marwan, memang sangat besar pengaruhnya.

Namun jika ternyata pecandu yang dihukum rehabilitasi masih mengulangi perbuatan hingga tiga kali, menurut Jaksa Agung Basrief Arif, ‘yang bersangkutan bisa dipidana’.

Tags: