Kekerasan, Bukan Jalan Keluar
Tajuk

Kekerasan, Bukan Jalan Keluar

Kalau ada yang namanya “islands of integrity”, maka mungkin perlu dibangun “islands of non-violence” dimana toleransi di masyarakat kecil ini dibuat zero terhadap kekerasan dan persenjataan dalam segala bentuk.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Kekerasan, Bukan Jalan Keluar
Hukumonline

Akhir tahun 2012 rupanya akan ditutup dengan kesan miris bahwa kekerasan masih dipilih oleh banyak orang atau sekelompok orang sebagai jalan keluar dari bentuk kekerasan lainnya, baik yang namanya represi oleh penguasa di negara-negara yang sedang bergolak, penindasan hak-hak dasar dimana-mana, problem sosial yang terus menekan kejiwaan umat, tekanan ekonomi yang tak kunjung mensejahterakan, konflik-konflik horizontal, sampai problem keluarga dan hubungan antar personal yang kaya konflik. Tetapi, paling tidak kiamat seperti dipersepsikan oleh banyak pengamat dan penulis barat atas ramalan bangsa Maya memang tidak terjadi, karena bangsa Maya sendiri tidak meramalkan kiamat, hanya sekedar pergantian era atau bakun setiap beberapa ribu tahun Maya.

Penembakan membabi-buta di kota Newtown, Connecticut, AS, yang membunuh 20 murid-murid kecil dan enam guru dan staf sekolah bukan saja meremukkan hati orang tua, teman dan kerabat mereka, tetapi juga siapapun di muka bumi ini yang menentang kekerasan. Kegilaan seperti ini tidak bisa ditolerir, apalagi masih terus dimungkinkan karena sistem bela diri di Amerika Serikat yang membolehkan orang menguasai senjata pribadi. Untuk usulan jalan keluarnya, National Rifle Association (NRA) menyalahkan setiap sistem dan pihak yang terkait, tetapi sama sekali tidak menyalahkan penguasaan senjata api itu sendiri. Usul mereka untuk mempersenjatai guru dan staf sekolah, atau menyediakan jasa sekuriti bersenjata api pada setiap sekolah sama sekali bukan jalan keluar. Siapa bisa menjamin bahwa ada guru, staf atau satpam yang karena suatu sebab bangkit amok dan memberondongkan timah panas ke murid-murid sekolahnya? Setiap orang menunggu dengan cemas bahwa sistem usulan NRA akan menelan korban-korban baru.

Sejarah kekerasan ada dalam setiap akar bangsa. Amerika punya alasan membenarkan itu dalam konstitusinya karena sejarah Amerika yang lahir dari perlawanan sipil terhadap penjajahan Inggris dan kerasnya kehidupan “wild-wild west” di awal pembentukan bangsa itu. Kita di Indonesia juga tidak asing dengan budaya kekerasan. Sejauh yang tercatat dalam sejarah, penindasan oleh raja-raja atau penguasa-penguasa kecil terhadap rakyat kecil dalam bentuk pajak mencekik menimbulkan reaksi muntab, kesabaran yang habis, dari rakyat untuk memberontak. Kekerasan, pembunuhan masal oleh penguasa, dibalas oleh pemberontakan, yang bilamana berhasil, juga menghabiskan seluruh klan penguasa.

Ken Arok adalah penggalan sejarah kekerasan kita. Bagaimana raja-raja meredam pemberontakan dengan kekerasan dan pembunuhan, bahkan terhadap anggota keluarga dan kerabatnya sendiri, kita saksikan dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Tradisi kekerasan diteruskan oleh tentara sewaan VOC, balatentara Belanda dan Jepang demi eksploitasi ekonomi dan perluasan daerah jajahan. Perjuangan bersenjata sipil kita untuk kemerdekaan sudah pasti bisa dibenarkan, tetapi secara hukum kita berhasil mengendalikan kondisi yang bisa chaos dengan mengembalikan penguasaan senjata hanya kepada polisi dan militer setelah kemerdekaan tercapai. Di era kemerdekaan, kekerasan pun tidak berhenti, baik di tingkat penguasa dan pemberontak karena alasan politik, maupun di antara etnik dan kelompok-kelompok agama dan masyarakat karena alasan-alasan SARA. Skala kekerasan oleh penguasa (negara) bisa terselubung dalam gerakan intelejen maupun terbuka dan massal.

Contoh kekejaman tiada tara adalah pembunuhan masal terhadap orang-orang yang terafiliasi dengan komunis Indonesia tahun 1965-1967, yang diperkirakan korban terbunuh mencapai hampir sejuta orang, dan puluhan ribu orang dipenjarakan tanpa diadili, dibuang ke pulau-pulau terpecil, harta benda dan keluarganya dijarah dan dinistakan tanpa diberi masa depan. Sejarah itu terbungkam karena ketakutan sejarawan terhadap rezim Soeharto yang represif. Sejarah ditulis untuk menyenangkan penguasa. Dunia waktu itu mencatat, tetapi tidak mampu ikut campur tangan karena suasana perang dingin yang mencekam. Organisasi PBB dan organisasi-organisasi internasional lain juga bungkam, demikian juga negara-negara barat yang selalu mempropagandakan penegakan hak asasi manusia (HAM). Dugaan adanya pembiaran yang luas kental sekali, karena yang ditumpas adalah komunis dan antek-anteknya yang menjadi ancaman bagi masyarakat kapitalis, liberal dan religius. Di sini arti demokrasi yang dijunjung oleh banyak negara barat tidak ada artinya, karena bukankah salah satu tiang utama demokrasi adalah penghargaan terhadap perbedaan sikap politik, HAM dan pluralisme di segala bentuk dan aspek?

Kekerasan orde baru tidak berhenti di situ. Gerakan Islam yang makin menguat juga dianggap ancaman, sehingga penindasan terhadap kelompok-kelompok Islam terjadi dimana-mana di banyak penjuru nusantara. Konflik horizontal terjadi dan dibiarkan tanpa dipadamkan api masalahnya. Dari waktu ke waktu, diskriminasi dan kekerasan juga terjadi terhadap golongan minoritas, terutama golongan keturunan Cina; yang terakhir kita lihat bentuknya adalah pada huru-hara 1998 yang membunuh dan memperkosa banyak saudara-saudara kita dari kelompok ini.

Atas nama apa juga kita tidak tahu betul, kekerasan dengan  mudahnya di ekspor oleh penguasa militer Indonesia ke Timor Timur, wilayah orang lain yang dianeksasi secara tanpa hak, hanya karena ketakutan bahwa bibit-bibit komunisme sedang bangkit di wilayah itu yang baru saja bebas dari penjajahan berabad-abad Portugal. Gerakan-gerakan pro-demokrasi juga ditindas, termasuk lembaga-lembaga bantuan hukum dan gerakan-gerakan kampus yang menyuarakan rakyat yang tergusur dan termiskinkan. Para tokoh HAM dan kaum intelektual ditangkapi, dipenjarakan, sebagian besar tidak diadili, dan manakala mereka tidak punya jalur komunikasi keluar untuk menyuarakan apa yang terjadi, penyiksaan, pembunuhan dan penghilangan dilakukan oleh tangan-tangan tak terlihat di dalam organisasi militer atau intelejen. Pengajian-pengajian disusupi, diskusi-diskusi diawasi oleh para intel, dan organisasi-organisasi politik dan massa dikerdilkan, seringkali dengan cara kekerasan. Kekerasan sudah menjadi prosedur baku yang diterima untuk menindas mereka yang mencoba melakukan perubahan. Resmilah bahwa kekerasan adalah ideologi negara yang paling ampuh di tangan penguasa, dan harus dihadapi sebagai risiko perjuangan oleh para reformis.  Sampai kinipun pelakunya tidak tersentuh hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags: