Jika Hakim Keras Kepala dan Emosional
Seleksi CHA:

Jika Hakim Keras Kepala dan Emosional

Sang hakim merasa sikap keras kepala dibutuhkan jika menyangkut prinsip.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Komisi Hukum DPR gelar uji kelayakan dan kepatutan terbuka terhadap 12 CHA gelombang kedua. Foto: Sgp
Komisi Hukum DPR gelar uji kelayakan dan kepatutan terbuka terhadap 12 CHA gelombang kedua. Foto: Sgp

Komisi Hukum DPR kembali menggelar uji kelayakan dan kepatutan terbuka terhadap 12 Calon Hakim Agung (CHA)gelombang kedua.Enam orang kandidat menjalani seleksi wawancara di depan anggota DPR pada hari pertama. Salah seorang adalah Suhardjono, hakim Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan.

Saat menjalani sesi wawancara, Senin (21/1), Suhardjono dicecar anggota DPR asal Sulawesi, Syarifudin Suding. Suding menjelaskan sudah bertanya ke sejumlah koleganya di Makassar, diperoleh informasi bahwa Suhardjono adalah hakim yang emosional, dan tertutup. “Saya sudah minta teman-teman di Makassar untuk ikuti jejak rekam Anda. Anda orang yang tertutup,” tuduh politisi Partai Hanura itu.

Bahkan, politisi PKB Bachrudin Nasori menilai Suhardjono punya karakter keras kepala dan berpembawaan emosional. Menurut Nasori, sikap temperamental tak cocok dimiliki seorang hakim saat harus memutus suatu perkara. “Dalam memutus perkara harus jauh dari sifat emosional,” tandas Nasori.

Dicecar tentang karakter pribadinya, Suhardjono tak mencari dalih. Di depan anggota Komisi III DPR, ia tak meampik sebagai orang yang keras kepala. Tetapi karakter itu dibangun dalam hubungannya dengan kebenaran yang dia yakini dalam suatu perkara. Dalam hal-hal yang prinsip, Suhardjono merasa ketegasan sikap dan kekerasan hati harus ditempuh seorang hakim. Keras dalam memutus perkara yang sesuai fakta persidangan adalah hal yang prinsip. “Prinsip harus keras dan tak tergoyahkan,” tegasnya dalam sesi fit and proper test.

Suhardjonomengklaim sepanjang menjadi hakim tak pernah mengambil putusan yang dinilai miring oleh masyarakat. Karena itu, ia siap bertanggung jawab atas semua putusan yang diambil, termasuk resiko dilaporkan ke Badan Pengawasan MA.

Suhardjono menegaskan, sifat emosional yang dimilikinya dalam arti memutus sebuah perkara secara totalitas. Ia menampik dalam memutus perkara dilakukan secara serampangan. Sebaliknya, ia justru berhati-hati dalam memutus suatu perkara lantaran menyangkut nasib seorang terdakwa. Sepanjang menjadi hakim, Suhardjono menegaskan tak pernah terkendala dalam pengambilan putusan terhadap suatu perkara. “Itu gambaran emosional menurut saya,” katanya.

Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Eva Sundari Kusuma penasaran. Ia melontarkan pertanyaan seputar hakim yang melanggar perundang-undangan dalam memutus suatu perkara apakah dapat dikenakan saksi. Pasalnya dalam RUU Mahkamah Agung yang sedang dibahas Komisi Hukum mengatur pemberian sanksi terhadap hakim yang melakukan pelanggaran.

Hakim yang telah menjalani kariernya selama 25 tahun itu berpandangan terhadap hakim yang melakukan pelanggaran mesti diberikan sanksi berat. Pasalnya, seorang hakim memiliki pengetahuan hukum yang melebihi dari kebanyakan masyarakat. Lagipula, sebagai pengadil, seorang hakim harus memberikan rasa keadilan masyarakat.

Hakim sering dipandang sebagai ‘wakil tuhan’ di muka bumi. Itu sebabnya, hakim semestinya menjadi panutan terhadap langkah yang diambil dalam setiap putusan. “Seorang hakim harus diberikan sanksi berat kalau melakukan kesalahan. Maka harus berlipat hukumannya sesuai dengan kadar perbuatannya. Karena hakim mengetahui hukum,” jelas Suhardjono kepada anggota Komisi Hukum DPR.

Tags: